Kata

Hujan hari ini
membukakan pintu kerinduanku pada impi lara,
pada saudjana, pada sosok-sosok yang dahulu berlari-larian
mengejarnya, berteriak, memuntahkan kata

Ketahuilah, kawanku,
kata-kata telah terhanyutkan usia,
mereka tenggelam dalam sunyi syahdu kembara
petualangan, pencarian kepada muara

Mungkin dentang girang lantang semesta
turut menanggalkan kata dari binar kemegahannya
Pun mungkin, segala kepahitan yang teredam
telah enggan berbisik mengiris
mengajak pada malam-malam sedu tetangis

Aku tak tahu

Yang kutahu,
sesungguhnya kata masih bergemuruh dalam kesunyiannya,
masihlah bersenandung dalam nada kesendiriannya
kata hanya menjelma, merupa
karya

Suatu hari, kawanku,
sejenaklah menengok

Offline Friday

Dulu aku pernah mendedikasikan Jumat sebagai hari baca.

Now, I want to take it further.

Aku ingin mencoba menjadikan Jumat sebagai hari bebas internet. Offline day. Sekedar bebas internet, karena aku belum bisa sepenuhnya off the grid. Jadi aku mungkin masih akan bermesra-mesraan dengan komputer dan Kindle.

Kenapa kok offline?

Entahlah. Akhir-akhir ini aku merasa hidupku terlalu didefinisikan dengan segala perangkat yang kupergunakan, internet adalah salah satunya. And I hate that kind of living. Aku hanya merasa enggan untuk terlalu bogoh kepada teknologi, atau fashion, atau lainnya. Kupikir aku ini sudah cukup hubud dunya, dan aku harus berhenti.

We shape our tools, but our tools don’t have to shape us. Menurutku sih begitu.

Old Habits Die Hard

Dulu aku pernah punya dua tumblog aktif di Tumblr. Yang satu berisi sketsa-sketsa tentang keseharianku, hampir mirip dengan Cap Coro namun berupa gambar-oretan, dan yang satu lagi berisi puisi-puisi picisan. Tumblog yang berisi gambar sudah mati, karena waktu itu aku menggunakan image hosting gratisan, yang kemudian tiba-tiba saja mati membawa data-data gambarku bersama mereka. Sedangkan yang berisi puisi-puisi amburadul masih hidup hingga sekarang, meski sudah lama tidak ada lagi gegombalan baru yang kutuliskan di sana.

Baru-baru ini, bersama dua sahabatku, Hafiz dan Vio, aku menjadi penggembira dalam blog Kursibaca, membahas tentang buku sebagai pop culture, dan menulis resensi-resensi. Kemudian, baru mulai seminggu yang lalu, aku membuka lagi satu tumblog baru untuk Gravakadavra, studio desainku (studio virtual). Di sana aku ingin mencoba membahas tentang desain, freelancing, menjadi seorang homeworker, dan tetek bengek personal development lainnya.

Jujur, akhir-akhir ini aku sebenarnya tidak terlalu termotivasi untuk menulis. Aku menyibukkan diri dengan anakku yang kini hampir berumur 4 bulan, dan mengerjakan proyek-proyek pribadi sehingga aku semakin jarang menulis. Seperti yang pernah kutuliskan dahulu, Cap Coro pun akhirnya kehilangan identitas awalnya sebagai real-time blog. Aku juga memberi batasan kepada diriku sendiri bahwa sesuatu yang kutulis haruslah sesuatu yang “bersuara”, yang bermakna, karena urip mung mampir nggubis adalah filsafat yang keliru. Aku tidak lagi berani sesumbar dan berkoar-koar, aku ingin menjadi lebih dewasa.

Membayangkan diriku menuliskan tentang sesuatu yang tidak kuketahui, katakanlah tentang buku dan desain, sedangkan aku hanya book hoarder dan tukang bikin logo, membuatku minder. Pada awal pembentukan Kursibaca (hingga hari ini), aku cukup rendah diri ketika Hafiz mengajakku untuk menulis resensi. Aku tidak pede, aku tidak ingin menulis sesuatu yang aku bukan ahlinya.

Namun kemudian aku sadar bahwa aku juga punya ide, aku punya gagasan, aku punya uneg-uneg, dan mereka cukup penting untukku. Seharusnya mereka kurekam, kujelajahi, tetapi mereka akhirnya sekedar mampir sejenak dalam benak tak tertuliskan. Sungguh sayang, kupikir. Bukankah pula ada hikayat bahwa seorang fulan terbebas dari neraka karena ada kawannya yang calon penghuni surga tidak ridha si fulan masuk neraka hingga akhirnya bernegosiasi dengan Tuhan dengan mengatakan bahwa si fulan telah ber-amar ma’ruf kepadanya semasa hidupnya?

Maka, mulai sekarang, aku ingin lebih ajeg menulis.

Aku ingin lebih bisa menyisihkan waktu, untuk menebar ilmu, menuliskan sesuatu yang kuketahui, dan mungkin akan lebih banyak lagi tentang sesuatu yang tidak kuketahui. Aku penasaran, aku ingin tahu bagaimana mengemas, merekam, dan menyebarkan ide-ideku. Mulai hari ini, semua blogku bukan lagi sekedar perkamen pribadi. Semoga semuanya lebih mencerahkan dan membuka wawasan.

Bismillah.

Something Bigger than Myself

[Tina] Alright, moving on. Do you feel a responsibility to contribute to something bigger than yourself?

I guess so. Living a life that’s just about you is kind of a failure, isn’t it? I don’t think you need to change the world, and I don’t think that trying to put a dent in the universe is for everybody—in fact, I think that quote is kinda bullshit. But I do think you should live for something other than yourself because if you don’t, you’re totally unbearable. I think it’s important to leave room in yourself for something more than you.

As far as higher purpose in my work, it doesn’t matter, as long as I don’t do any harm. If I can contribute through my work, that’s great—and preferable. However, my experience says that that chance isn’t always there, and to act like it is always there is a bit disingenuous. If I get a chance to write about something I’ve learned, make someone feel more understood, or build something that helps someone, then that’s worth my time.

I’m a little allergic to the talk in the industry right now about “world changing.” Obviously things need to change, but it’s not just through design. It’s politics. Personal practices. All sorts of stuff. I guess the reason I get itchy around all this “world changey-designy” stuff is because it feels like hyperbole—like the way someone who lacks self-confidence would speak too highly of themselves. I’m allergic to braggadocio. Design can have that kind of influence, but I don’t think it’s the norm. And even in the instances where design can have that kind of influence, we’re usually using “design” as a synonym for straight-up smart planning. Lots of people can do that, not just designers. Don’t put a fence around it.

I suspect that the people who have a huge influence very rarely get into what they’re doing expecting that. For example, look at the very designy, impactful humanitarian organizations, like charity: water; even that starts with building a well, person to person, and collects the small things into something larger. Even if it doesn’t grow into something larger, it’s still something meaningful to a small group of people. Those people still have that well. That’s what I feel convicted to do—to foster and cater to small groups. If it scales or grows, that’s fine; if it doesn’t, then I’m content and happy to have been able to do anything at all. But, there are different viewpoints on this. I have friends who work at Facebook who really value reach. That’s why you go work there. But I prefer resonance. It’s not always one or the other, but there is usually a trade-off between the two.

This is an unpopular opinion, but my thought is that if a designer actually wanted to help to improve things, they wouldn’t design a poster—they’d be ladling soup, which has a more immediate result to their effort. There are personal benefits, but they’re internal. I’ve contributed to things like drives or poster campaigns in the past, and it still makes me feel weird because it’s supposed to be for charity, but I still get something from it. Promotion, whatever. It doesn’t feel clean to me.

— Frank Chimero, from The Great Discontent

Salman Rahmadya Rahagi

Salman Rahmadya Rahagi, anugrah kasih sayang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang semoga dapat membawa kedamaian dan keselamatan bagi orang di sekitarnya baik di dunia maupun akhirat, dengan sinar kebijaksanaannya.

Nickname: Hagi. Kudefinisikan sendiri sebagai tangkas, bergegas. Seperti age, di bahasa Jawa. Hehehe … Ada juga Hagi (Hebrew), yang berarti “one who is abandoned”. Well, it’s alright. I hope he is going to be “abandoned” by satans, and their wickedness.

Sepertinya ini keputusan akhir untuk nama anakku. Bismillah.

Ngadeg Jejeg

Aku tersenyum sendiri membaca tulisan temanku, Hafiz, di Colorwalk-nya. Lagi-lagi, karena pemikiran kami mirip.

Jika Hafiz menuliskan di sana bahwa dia terbiasa menolak pemberian orang lain, sungkan, karena terasa merepotkan si pemberi, aku pun juga demikian. Bedanya aku lebih sungkan meminta bantuan, ketimbang menolak pemberian barang. Aku berpikiran bahwa hadiah adalah rizki yang diulurkan oleh Allah melalui tangan orang lain, maka siapalah aku yang berani menolak rizki-Nya, pertolongan-Nya? Jadi sudah dari dulu aku cuman bisa mesam-mesem, mrenges, sambil bilang, “Suwun yo!”, ketika ada saudara atau kerabat yang memberi hadiah. Rasanya sudah tak sungkan-sungkan lagi. Hehe. Bahkan dulu aku tak pernah sekalipun membeli t-shirt, semua t-shirtku adalah pemberian atau hasil kerja desain t-shirtku sendiri. Mengingat itu semua, aku hanya bisa bersyukur bahwa begitu banyak orang yang peduli kepadaku.

Namun beda halnya dengan menerima bantuan yang memakan tenaga dan waktu orang lain. Untuk urusan-urusan yang notabene kepentinganku, aku lebih suka melakukannya sendiri, bukan semata karena aku OCD, tidak percaya kepada kemampuan orang lain, namun karena aku sepertihalnya Hafiz sungkan merepotkan orang lain. Menurutku, memang seharusnya setiap orang memiliki rasa malu membebani orang lain. Sedikit ganjil memang, jika dipikir-pikir, bantuan tenaga pun bisa dianggap seperti hadiah barang kan? Entahlah, aku tetap memperlakukannya secara beda. Masih saja sungkan.

Jadi tempo hari aku bertekad sesedikit mungkin merepotkan orang lain dalam upaya mempersiapkan pernikahanku (hoi masbro dan mbaksis, aku sudah sah jadi suami! Foto dan beritanya menyusul nanti). Mulai dari undangan, souvenir, tetek bengek birokrasi, salon, catering, sebisa mungkin aku tidak banyak merepotkan orang lain. Aku survey keliling Malang bersama si Nduk, berpatokan pada prinsip-prinsip ekonomi, hasil maksi harga mini. :)

Alkhamdulillah, aku mendapat banyak pelajaran. Dan kurasa itu pula sebabnya aku segan merepotkan orang lain. Aku ingin mendapat ilmu-ilmu baru. Sedangkan meminta bantuan orang lain, selain merepotkan juga menjauhkanku dari kejutan-kejutan, sumber-sumber ilmu baru tersebut. Bisa saja aku meminta bantuan Hafiz untuk menyelesaikan web Gravakadavra, misalnya, namun itu berarti aku menyerah untuk belajar HTML dan CSS. Aku tidak ingin seperti itu.

Sebelum meminta bantuan orang lain, kerjakan sendiri dulu. Jika tidak sanggup dan ada rizki berlebih, bayar orang lain untuk mengerjakannya. Jika tidak sanggup, namun tidak pula mempunyai sesuatu untuk diberikan sebagai penghargaan kepada orang lain, barulah boleh meminta bantuan. Ini adalah patokan yang kupegang dan kuajarkan pada istriku. Meskipun dengan sedikit perkecualian untuk hal-hal yang tidak terlalu merepotkan, misalnya menyuruh keponakan beli gula di warung. :)

Jika bisa berdiri dengan kaki sendiri, kenapa kok harus meminjam kaki orang lain? Kemandirian adalah wujud syukur atas anugrah ilmu, kemampuan, dan keahlian yang dituangkan Allah dari samudra kebijaksanaan-Nya.

Boh

Tiba-tiba, di sela aku mendesain undangan nikahanku, aku kesambet ide untuk ngasi nama anak. Untuk anak cowok. :D

Boh Abdillah Rahmaputra

Boh dalam bahasa Myanmar berarti pemimpin, kekuatan. Jadi nama itu bisa berarti pemimpin yang kuat, hamba Allah yang dikaruniai rahmat dan imam bagi orang-orang yang shalih.

Apik tho? Gehehehe. Panggilannya Boh, masiyo di Urban Dictionary artinya rada geje, tapi sounds unique. Berarti ini sedikit meratifikasi keinginanku untuk menamai anak-anakku dalam bahasa Jawa. Hehehe.

Gara-gara baca tulisannya Goenawan Muhammad, Boh.

Haiyyah, nikah aja belum. :p

Fresh!

Biasanya hanya pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, yaitu jadwalku mengantar Si Nduk mengajar di sekolahnya, atau hari-hari lain penggantinya saja, aku mandi pagi. Namun hari ini, Senin, aku mandi lebih pagi dari biasanya. Aku keramas. Aku melaksanakan ritual ‘Trim the bush to make the tree look taller’, kucukur pula kumis serta rambut di ketiak. Kugosok gigiku hingga benar-benar terasa kesat. Kusabun dan kubilas tubuhku hingga benar-benar bersih. Aku mandi lebih lama. Lantas aku memeriksa rambut di kepalaku, masih cepak. Kukuku pun masih pendek-pendek. “Sip,” kataku dalam hati.

Aku keluar dari kamar mandi dengan riang.

Kubersihkan tempat tidur, lantai kamar, serta komputerku. Kusemprot sedikit dengan pengharum ruangan. Kubuka gordin jendela kamarku yang besar. Kubaca lagi tulisan yang sama, yang kuguratkan dengan spidol putih di kaca beberapa bulan silam.

I feel great, feel so very very fresh, my mood lightened up.

So yeah, let’s create something beautiful today, let’s make another storm and thunder.

Cegukan dan Ruku’

Cegukan, hiccup, atau singultus, kata Wikipedia Indo adalah kontraksi tiba-tiba yang tak disengaja pada diafragma, dan umumnya terjadi berulang-ulang setiap menitnya. Udara yang tiba-tiba lewat ke dalam paru-paru menyebabkan glottis (ruang antara pita suara) menutup, serta menyebabkan terjadinya suara hik.

Cara yang selalu kupakai dan tak pernah gagal untuk menghentikan cegukan adalah dengan minum air putih, seringkali cukup satu teguk, dengan posisi badan membungkuk dan leher menjulur lurus ke depan seperti ruku’ dalam sholat. Orang Jepang yang seingatku menemukan metode ini.

Tak pernah gagal.

Barusan ini tadi, keponakanku cegukan. Kusarankan mengatasinya dengan caraku. Lagi-lagi berhasil.

Lantas aku berpikir bahwa mungkin ruku’ dalam sholat itu juga bermanfaat untuk mengatur aliran udara dalam paru-paru, atau kesehatan diafragma atau entah apa. Mungkin ada kaitan medis lain yang belum diketahui selain yang selama ini cukup terkenal yaitu untuk menjaga kesehatan punggung dan tulang belakang.

Trivia-trivia remeh seperti inilah yang senantiasa menambah keyakinanku kepada Tuhanku.

Alkhamdulillah. Segala puji untuk-Mu, ya Rabb.

Grammar Nazi

Semakin lama aku merasa OCD-ku semakin menggila. Akhir-akhir ini, aku kian merasa menjadi jerk seperti Sheldon Cooper.

Ketika naik motor di jalanan, hobi baruku adalah mencerca tulisan apapun yang terbaca, yang ditulis dengan ejaan atau kaidah yang salah. Suatu ketika, ada bimbel yang memasang banner di daerah Sawojajar menawarkan cara belajar yang unik, ‘Games Methode’ katanya. Methode. Bimbingan belajar. Ejaan salah. Keminggris. Kudamprat setengah mati! Lain hari, ada seorang mantan mahasiswa jurusan Teknik Mesin, memakai jaket bertuliskan ‘Machine Engineering’. Langsung saja ku-ghibah, kucaci maki. “Sing bener iku ‘Mechanical Engineering’! Mahasiswa kok ra intelek!”, kataku sengit sembari membonceng si Nduk.

Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan kekeliruan itu. Namanya juga manusia, khan? Namun, seringkali aku mendapat kesan bahwa kekeliruan itu akibat para ‘desainer’ ataupun ‘copy-writer’ di belakang layar yang bekerja asal-asalan. Tidak dicek ulang, asal jadi, instan. Dan itu yang sungguh sungguh sungguh membuatku muak. Apa sih susahnya membuka kamus, atau Google? Riset sedikitlah, boy!

Sigh. Sekarang memang jaman instan. Apa-apa inginnya langsung jadi, durian runtuh. Lha iya kalo durian runtuhnya pas di depanmu, enak, la kalo akhirnya nibani ndasmu? Mbonjrot perot.

Jangan menjadi generasi asal-asalan! Dilarang!

P.S:
Omong-omong soal OCD, aku baru saja selesai memberi tanda letak monitor di mejaku. Biar setelah digeser-geser dan diarahkan untuk nonton film dari kasur, bisa kembali lurus menghadap kursi dan sejajar dengan meja dengan mudah.

_/””|o *parah*