Hagi in Masjid

Jujur, tadi aku sama sekali tidak khusyu’ ketika sholat maghrib di masjid dekat rumah. Tadi adalah kali kedua aku mengajak Hagi (hampir berumur 2 tahun lebih 2 bulan) ke masjid dan aku berulang-ulang memperhatikannya di sampingku mengikuti gerakan sholat.

Dia. Di sampingku. Mengikuti gerakan sholat. Masya Allah!

Sedikit menoleh kesana kemari, tetapi kurasa semua gerakan sholat diikuti olehnya. Kadang, ketika dia terlalu cepat bangun dari sujud, dan melihat sekelilingnya masih sujud, maka dia bersujud kembali. Sungguh lucu. Ketika kami takbir dia takbir, ketika ruku’ dia pun ruku’, sujud dan duduk pun diikuti semampunya.

Sungguh, untuk seorang bapak yang pemalas, yang jarang sekali ke masjid, pemandangan tadi adalah suatu kebahagiaan. Ketika pulang langsung kubangga-banggakan kepada ibunya, kuciumi pipi dan keningnya. Senang sekali rasanya.

Semoga aku bisa menjadi bapak yang senantiasa memberi contoh dan mengajak anak-anaknya kepada kebaikan. Tidak hanya sekedar memerintah dan memberi komando, tetapi benar-benar menjadi teladan. Maghrib tadi adalah ajakan kepada anakku untuk memakmurkan masjid.

Ya Allah, dalem nyuwun diparingi istiqomah.

Hagi at Daycare

Kemarin lusa adalah hari pertama Hagi belajar di taman penitipan anak. Beberapa hari sebelumnya, aku pernah mengajaknya ke tempat yang sama hanya untuk sekedar melihat-lihat dan mencoba wahana permainan yang ada. Jadi kemarin ketika dia mulai kutitipkan, prosesnya cukup mudah. Apalagi, ada dua kakak sepupunya yang sudah lebih dahulu dititipkan di tempat itu.

Menitipkan anak di day care adalah pilihan yang tidak sembarangan. Apalagi aku adalah stay-at-home dad, jadi sebenarnya aku pun bisa menjaganya di rumah sembari bekerja. Namun, jika aku hendak mengantarkan istriku ke kantor, atau ada keperluan lainnya, maka kami harus menitipkan Hagi ke neneknya. Itu cukup merepotkan untuk ibuku, karena beliau sudah cukup sepuh, dan Hagi adalah anak yang sangat-sangat aktif. Apalagi rumah ini adalah rumah komunal—begitu aku menyebutnya—dengan barang-barang yang saling bercampur, dan ada tiga kepala keluarga di sini. Aku tidak leluasa untuk menyulapnya menjadi kid-proof zone dan Hagi pun tidak leluasa untuk bermain dengan aman.

Selain itu, banyak anak-anak kerabatku yang lebih mandiri dan terasah social-skill mereka setelah banyak bermain dengan teman yang sebaya. Ada yang dulunya enggan untuk ngomong, kini menjadi lebih ceriwis. Bahkan ada yang sudah ceriwis keminggris, jago berbahasa Inggris. Ada pula yang dulu sangat pelit berbagi mainan, kini menjadi lebih berbagi. Kekurangan teman sebaya itulah yang hendak kututupi dengan menitipkan Hagi di day care.

Berikut ini adalah sedikit tips berkenaan dengan taman penitipan anak (TPA) atau day care:

  1. Tentukan prioritas. Apakah benar-benar membutuhkan day care? Lantas, ingin memilih yang dekat dengan tempat kerja atau rumah? Catat semua dan buat daftar.
  2. Galilah info mengenai day care jauh-jauh hari sebelum benar-benar membutuhkannya. Seringkali, TPA membatasi jumlah anak yang dititipkan. Jadi lebih baik sesegera mungkin daripada menyesal di kemudian hari.
  3. Gunakan internet. Selain bertanya kepada sanak famili dan kerabat, peramban internet pun ada untuk membantu mencari TPA dengan reputasi yang baik.
  4. Sebaiknya memilih TPA yang sudah terdaftar di Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah. Menurutku, TPA yang demikian terkesan tidak main-main, tidak hanya mementingkan faktor bisnis semata.
  5. Perhatikan rasio antara guru atau pengasuh dan anak asuh. Hindari TPA dengan jumlah pengasuh yang terlalu sedikit. Untuk balita, rasio yang disarankan adalah 1:3, 1 pengasuh untuk 3 anak asuh. Namun rasio ini bergantung kepada kondisi dan luas TPA, serta dapat berubah seiring pertambahan umur anak asuh.
  6. Wawancarai para pengasuh dan gali latar belakang mereka. Apakah mereka pernah menempuh pendidikan mengenai anak usia dini?
  7. Tanyakan aturan-aturan dasar, kurikulum, kelengkapan fasilitas bermain dan belajar, jadwal kegiatan dan istirahat atau tidur siang, bagaimana aturan tentang anak yang sakit (apalagi jika ada yang sakitnya menular), kualitas dan kebersihan makanan atau snack yang disajikan, fasilitas sanitasi, dan aturan penjemputan anak.
  8. Beri tahu semua info tentang anak yang sekiranya perlu diketahui oleh para pengasuh. Apakah ada perilaku khusus? Apakah anak mempunyai alergi? Jelaskan semua.
  9. Ajaklah anak untuk mengunjungi day care yang telah lolos kualifikasi kita. Biarkan mereka mencobanya sendiri dan berkenalan dengan calon pengasuhnya. Lebih baik secara berulang beberapa kali sebelum benar-benar menitipkan si anak di tempat itu.
  10. Trust your gut. Seringkali, jika memang ada yang tidak berkenan di hati berarti memang TPA itu tidak ditakdirkan untuk putra-putri kita. Jangan berputus asa, lebih baik mencari TPA yang lain.

Tidak ingin menitipkan anak di TPA pun tak mengapa. Jika memang mampu, dan lebih banyak kebaikan untuk si anak jika diasuh di rumah, maka itu lebih baik. Bahkan, jika memang bisa, bekerjalah di rumah sambil mengasuh anak, itu pilihan orang tua yang keren. Semoga, kelak jika Hagi sedikit lebih besar, aku diberikan kemampuan yang sedemikian. Amiin.

Gestural Boy

Hagi sudah berumur 441 hari. Atau 1 tahun, 2 bulan, 15 hari. Atau 14,5 bulan.

Seperti yang pernah aku tweet, dia berkembang menjadi anak dengan mercurial temper. Meskipun demikian, kondisinya masih bisa dikatakan wajar dan tidak terlalu sering mengalami perubahan mood yang terlalu ekstrim. But, boy, he sure is lively. Lari sana, lari sini. Panjat kursi sana, panjat tempat tidur sini. Cekatan, seperti namanya.

Oh ya, aku belum bilang, dia sudah bisa berjalan, sedikit sering berlari malahan. Alkhamdulillah. Dan di usia ini, dia sudah memiliki gesture vocabulary yang jauh beragam. Aku pernah menuliskan tentang bagaimana dia suka menirukan gayaku minum kopi, itu masih dilakoninya sampai sekarang, meski tidak sering lagi. Dia sekarang juga suka mengatupkan tangan seperti berdoa, ketika mendengarkan kami berdoa, atau ada yang mengaji. Kadang dia juga berdiri di sampingku, ikut berdiri bersendekap (dengan gesture tangan yang lucu) dan sujud, ketika aku sholat. Ibunya senang sekali melihatnya.

Dia suka dipijit sebelum tidur, jadi seringkali dia menyodorkan kakinya untuk dipijit. Atau menyodorkan bantal kecil, untuk mengipasinya. Ketika tertawa terbahak-bahak, dia sering menutup mulutnya dengan kedua tangan. Entah kebiasaan baik dari mana ini yang dia tiru, karena kami orang tuanya malah tidak demikian ketika tertawa.

Dia juga cukup sering rebutan remote TV dengan kakak-kakak sepupunya, suka memindah-mindah channel TV secara acak dan menjengkelkan penonton lainnya. Kadang apapun yang serupa remote dijadikannya remote, meskipun itu handphone atau tempat bedak sekalipun. Komputerku adalah gadget lain yang sering dijadikannya mainan. Tombol keyboard favoritnya adalah tombol Windows (gambar jendela), karena ketika tombol itu dipencet, kotak-kotak menu Windows 8 akan segera bermunculan. He likes them. Hehe, one step closer to be a hacker.

My lil' hacker

Ada juga gadget lain yang tidak terlalu dia suka: hair-dryer ibunya dan jam wekerku. Mungkin karena keduanya mengeluarkan bunyi aneh dan tampak berbahaya. Kadang ketika ibunya mengeringkan rambut, alih-alih berlari menjauh dia malah segera berlari ke arah ibunya sembari memasang wajah khawatir. “Itu berbahaya, jangan pakai itu!” mungkin begitu pikirnya, seolah mengingatkan. Tetapi itu hanya kadang-kadang, yang sering adalah dia berlari menjauh, mencari perlindungan ke arah orang lain yang dikenalnya.

Hagi sudah jauh lebih bisa diajak berkomunikasi sekarang. Kami kadang memintanya mengambil barang, dan dia mau mengambilkannya. Kadang kami pura-pura tidak tahu lantas bertanya di mana botol susunya berada, dan dialah yang menunjukkannya. Hanya saja, kami sedikit khawatir karena kemampuan komunikasi gesturalnya justru berbanding terbalik dengan komunikasi verbal. Dulu dia lebih sering berkata-kata, sudah bisa ngomong beberapa kata seperti “bapak”, “gajah”, dan “kuda”. Kini dia hanya lebih sering menunjuk-nunjuk sambil mengeluarkan suara-suara seperti dulu ketika dia masih bayi kecil. Ada yang bilang mungkin dia terlalu fokus untuk berlatih berdiri dan berjalan sehingga dia lupa pelajaran berkata-kata yang telah lalu. Jadi untuk saat ini kami masih menganggapnya sebagai hal yang wajar saja.

In & Out

Segala yang masuk, harus ada yang keluar. Kurasa demikianlah sunatulloh hidup ini.

Jika memasukkan makanan, maka akan ada kotoran yang harus dikeluarkan. Jika mendapat upah, maka harus ada zakat yang dibayarkan. Jika memasukkan itu ke itunya, maka tunggu sajalah, dengan ijin Allah akan ada manusia kecil yang keluar beberapa bulan atau tahun lagi. Hehe, contoh yang terakhir rada ngasal.

Ada yang masuk, ada yang keluar. Equilibrium. Begitulah intinya.

Meskipun ada yang keluar, namun itu tidaklah selalu menjadi hal yang sia-sia, produk buangan, ampas. Karena menurutku semuanya adalah berkah Allah (jika ada yang bilang manusia kecil tadi itu bukan berkah dari Allah berarti rada slendro). Jikapun yang dikeluarkan itu tidak terlalu bermanfaat bagi pihak yang mengeluarkan, ya masih tetap ada berkah Allah untuk makhluk yang lain, yang dengan kehendak Allah akan berbalik kepada kita dalam rupa yang beragam. That’s the cycle of life.

Malapetaka menanti ketika produk keluaran terhambat untuk keluar, sembelit misalnya. Selain itu, kesia-siaan yang sesungguhnya adalah upaya untuk menghalangi jalan keluar dari produk-produk yang sudah digariskan untuk keluar. Karena suatu saat nanti, pada akhirnya produk-produk itu pun akan memberontak keluar dalam rupa yang beragam, dan kembali memberikan efek kepada kita dalam rupa yang beragam pula. Sekali lagi, that’s the cycle of life, sudah jalannya begitu.

Maka hari ini aku mulai menunggu. Menunggu hasil apa yang akan diperoleh kelak, setelah hari ini orang-orang di rumah orang tuaku ini tidak rela membuang atau menjual kulkas lama. Meskipun sudah membeli kulkas yang baru, meskipun aku sudah berusaha mengingatkan. Semoga dilindungi dari hal-hal yang tidak baik.

Mati hanya mengenakan kafan, disemayamkan dalam ruang yang sempit, tak membawa apa-apa selain amal. Hidup sederhana sajalah, Ro!

Geli

Ya, geli.

Begitulah rasa yang kualami setelah bergembira, excited sekaligus bersedih dalam waktu yang bersamaan. Aku tidak ingat, tetapi seumur hidupku, mungkin baru sore tadi aku mengalaminya. Pada akhirnya kegembiraan dan kesedihan itu lebur, menjadi rasa yang berbeda, yang kemudian membuatku tersenyum.

Teramat asing rasa itu, sampai aku merasa harus menuliskannya di sini.

Sruput

Seperti kebanyakan orang tua dan penikmat kopi di Indonesia, aku juga mempunyai kebiasaan menghela nafas dan meniupkan uap-uap kopi di akhir setiap sruputan. Seperti halnya orang Jepang yang nyeruput kuah mie ramen keras-keras untuk menunjukkan penghargaan mereka kepada si pembuat mie, helaan nafas kami bisa pula dianggap sebagai apresiasi kami terhadap minuman kopi tersebut.

Ternyata, ada yang selama ini diam-diam mengamati kebiasaanku itu: anakku, Hagi, yang masih berumur 10 bulan.

Pagi tadi, aku menggendong Hagi dengan tangan kiriku. Tangan kananku meraih gelas kopi. Sluuurp…. Dan Hagi tiba-tiba menghela nafas, haaaaah. Aku nyeruput lagi, dia yang menghela nafas lagi. Berulang-ulang.

Sontak aku tertawa. Hagi made my day.

Offline Friday

Dulu aku pernah mendedikasikan Jumat sebagai hari baca.

Now, I want to take it further.

Aku ingin mencoba menjadikan Jumat sebagai hari bebas internet. Offline day. Sekedar bebas internet, karena aku belum bisa sepenuhnya off the grid. Jadi aku mungkin masih akan bermesra-mesraan dengan komputer dan Kindle.

Kenapa kok offline?

Entahlah. Akhir-akhir ini aku merasa hidupku terlalu didefinisikan dengan segala perangkat yang kupergunakan, internet adalah salah satunya. And I hate that kind of living. Aku hanya merasa enggan untuk terlalu bogoh kepada teknologi, atau fashion, atau lainnya. Kupikir aku ini sudah cukup hubud dunya, dan aku harus berhenti.

We shape our tools, but our tools don’t have to shape us. Menurutku sih begitu.

Doaku Untuk Anakku

Umumnya, para bayi baru bisa membedakan kondisi siang dan malam, bangun di siang hari dan tidur di malam hari, kira-kira ketika menginjak usia 4 atau 5 bulan. Anomali jam dan pola tidur bayi pada fase awal pertumbuhan mereka tersebut adalah salah satu momok yang sering dikeluhkan para orang tua baru.

Sebenarnya ada trik-trik yang bisa diterapkan untuk mengajarkan pola tidur orang dewasa pada bayi. Beberapa referensi menganjurkan untuk meminimalisasi interaksi di malam hari ketika bayi terbangun, dan sebaliknya, memperbanyak aktifitas dan mengurangi tidur bayi di siang hari. Saat malam, orang tua bisa sedikit mengacuhkan si bayi dan hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti minum susu atau ganti popok. Dengan demikian, bayi bisa belajar mengenali bahwa malam adalah waktu untuk orang dewasa tidur, waktu yang sunyi dan sepi, hingga akhirnya si bayi belajar memilih untuk lebih banyak beraktifitas di siang hari dan tidur di malam hari. Ada juga Ferber Method yang cukup sering diadopsi di film-film Hollywood, meski dinilai sedikit ekstrim dalam upayanya untuk menidurkan bayi, bisa dibaca di Wikipedia dan BabyCenter.

Alkhamdulillah, sejak usia anakku 1,5 bulan, aku dan istriku tidak lagi direpotkan dengan masalah anomali tidur itu. Sejak usia itu hingga kini beranjak 4 bulan, Hagi, anak kami, akan beranjak tidur setiap ba’da Isya hingga pagi subuh.

Namun, jujur, kami tidak pernah benar-benar mencoba cara yang kusebutkan di atas. Jika aku juga terbangun (istriku yang lebih sering bangun malam), aku malah lebih sering membuat keributan dan merecoki istriku dengan mengajak Hagi bermain. Aku dan istriku tidak menggunakan metode apapun, kecuali mungkin satu amalan yang kulakukan dulu ketika istriku mengandung: setiap ada kesempatan, aku selalu berdoa dan membisikkan harapanku tentang Hagi sembari mengelus-elus perut istriku yang hamil membuncit, juga setiap selesai sholat.

Serius. Kutuliskan di sini tanpa bermaksud untuk riya’ dan sombong, semoga.

Aku sudah berulang kali membuktikan bahwa melalui doa, dengan uluran bantuan Allah, semua hal di dunia ini adalah mungkin untuk terjadi. Maka jika aku menginginkan anakku termasuk dalam kategori low maintenance, aku mendoakannya demikian. Pun jika aku menginginkannya untuk kelak bisa menghidupkan namanya yang Salman, yang Rahmadya, yang Rahagi, yang Hagi, dapat berperilaku aktif, gigih, cekatan dalam menebarkan kasih sayang dan kedamaian bagi lingkungannya, dianugrahi Allah kasih sayang dan cahaya kebijaksanaan, maka aku mendoakannya demikian.

Hampir semua harapanku untuk Hagi tertuang pada doaku, kusebutkan dan kulantunkan dengan detail. Aku berdoa agar dia menjadi anak yang shalih, sehat jasmani rohani, bagus dan rupawan, tidak sakit-sakitan (Hagi cukup kebal terhadap penyakit, alkhamdulillah), menjadi anak yang cerdas, tidak terlalu rewel, tidak selalu ingin digendong (karena ada keponakanku yang sering menangis jika tidak digendong), gampang makannya, tidak pilih-pilih makanan, tidak banyak alergi, cekatan dalam segala hal, penurut, aktif tetapi tidak hiperaktif, pandai mengaji Quran, rajin sholatnya, jujur, dan rendah hati. Aku dan istriku juga selalu dan selalu berdoa agar Hagi bisa senantiasa menyenangkan hati kami orang tuanya dan orang-orang lain di sekitarnya.

Sayangnya, aku melupakan satu hal, sang ibu. Aku hanya mendoakan sekenanya untuk istriku. Dan mungkin, tanpa bermaksud merendahkan kuasa dan kehendak Allah, itulah yang menyebabkan ASI istriku tidak terlalu bancar. Aku menyesalinya hingga kini.

Sejauh ini sebagian besar doaku terkabulkan, alkhamdulillah. Setiap pagi, aku bekerja dari rumah, di depan komputer, dan Hagi selalu menemaniku di ranjang di ruang kerjaku. Jarang sekali rewel, hanya sesekali menangis ketika merasa lapar, dan kembali tenang untuk bermain atau melantunkan suara-suara khas bayi ketika sudah kenyang. Sungguh sungguh menyenangkan. Aku malah pernah sesumbar tidak lagi membutuhkan white noise dan Coffitivity, suara Hagi sudah cukup.

Teruntuk para calon orang tua (heh Fiz, Hafiz!), doakanlah calon anakmu, semenjak dia masih di dalam kandungan. Ajaklah berinteraksi sejak anak sudah bisa mendengar meski masih di dalam kandungan. Perbaikilah kesalahanku, doakan juga si ibu, mintalah anugerah keselamatan dan kesehatan untuknya ketika mengandung, ketika melewati proses melahirkan, hingga nanti ketika bersama-sama membesarkan anak.

Aku selalu percaya, doa mampu menciptakan generasi yang lebih baik. Aku harap engkaupun demikian.

Old Habits Die Hard

Dulu aku pernah punya dua tumblog aktif di Tumblr. Yang satu berisi sketsa-sketsa tentang keseharianku, hampir mirip dengan Cap Coro namun berupa gambar-oretan, dan yang satu lagi berisi puisi-puisi picisan. Tumblog yang berisi gambar sudah mati, karena waktu itu aku menggunakan image hosting gratisan, yang kemudian tiba-tiba saja mati membawa data-data gambarku bersama mereka. Sedangkan yang berisi puisi-puisi amburadul masih hidup hingga sekarang, meski sudah lama tidak ada lagi gegombalan baru yang kutuliskan di sana.

Baru-baru ini, bersama dua sahabatku, Hafiz dan Vio, aku menjadi penggembira dalam blog Kursibaca, membahas tentang buku sebagai pop culture, dan menulis resensi-resensi. Kemudian, baru mulai seminggu yang lalu, aku membuka lagi satu tumblog baru untuk Gravakadavra, studio desainku (studio virtual). Di sana aku ingin mencoba membahas tentang desain, freelancing, menjadi seorang homeworker, dan tetek bengek personal development lainnya.

Jujur, akhir-akhir ini aku sebenarnya tidak terlalu termotivasi untuk menulis. Aku menyibukkan diri dengan anakku yang kini hampir berumur 4 bulan, dan mengerjakan proyek-proyek pribadi sehingga aku semakin jarang menulis. Seperti yang pernah kutuliskan dahulu, Cap Coro pun akhirnya kehilangan identitas awalnya sebagai real-time blog. Aku juga memberi batasan kepada diriku sendiri bahwa sesuatu yang kutulis haruslah sesuatu yang “bersuara”, yang bermakna, karena urip mung mampir nggubis adalah filsafat yang keliru. Aku tidak lagi berani sesumbar dan berkoar-koar, aku ingin menjadi lebih dewasa.

Membayangkan diriku menuliskan tentang sesuatu yang tidak kuketahui, katakanlah tentang buku dan desain, sedangkan aku hanya book hoarder dan tukang bikin logo, membuatku minder. Pada awal pembentukan Kursibaca (hingga hari ini), aku cukup rendah diri ketika Hafiz mengajakku untuk menulis resensi. Aku tidak pede, aku tidak ingin menulis sesuatu yang aku bukan ahlinya.

Namun kemudian aku sadar bahwa aku juga punya ide, aku punya gagasan, aku punya uneg-uneg, dan mereka cukup penting untukku. Seharusnya mereka kurekam, kujelajahi, tetapi mereka akhirnya sekedar mampir sejenak dalam benak tak tertuliskan. Sungguh sayang, kupikir. Bukankah pula ada hikayat bahwa seorang fulan terbebas dari neraka karena ada kawannya yang calon penghuni surga tidak ridha si fulan masuk neraka hingga akhirnya bernegosiasi dengan Tuhan dengan mengatakan bahwa si fulan telah ber-amar ma’ruf kepadanya semasa hidupnya?

Maka, mulai sekarang, aku ingin lebih ajeg menulis.

Aku ingin lebih bisa menyisihkan waktu, untuk menebar ilmu, menuliskan sesuatu yang kuketahui, dan mungkin akan lebih banyak lagi tentang sesuatu yang tidak kuketahui. Aku penasaran, aku ingin tahu bagaimana mengemas, merekam, dan menyebarkan ide-ideku. Mulai hari ini, semua blogku bukan lagi sekedar perkamen pribadi. Semoga semuanya lebih mencerahkan dan membuka wawasan.

Bismillah.

Salman Rahmadya Rahagi

Salman Rahmadya Rahagi, anugrah kasih sayang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang semoga dapat membawa kedamaian dan keselamatan bagi orang di sekitarnya baik di dunia maupun akhirat, dengan sinar kebijaksanaannya.

Nickname: Hagi. Kudefinisikan sendiri sebagai tangkas, bergegas. Seperti age, di bahasa Jawa. Hehehe … Ada juga Hagi (Hebrew), yang berarti “one who is abandoned”. Well, it’s alright. I hope he is going to be “abandoned” by satans, and their wickedness.

Sepertinya ini keputusan akhir untuk nama anakku. Bismillah.