Hagi at Daycare

Kemarin lusa adalah hari pertama Hagi belajar di taman penitipan anak. Beberapa hari sebelumnya, aku pernah mengajaknya ke tempat yang sama hanya untuk sekedar melihat-lihat dan mencoba wahana permainan yang ada. Jadi kemarin ketika dia mulai kutitipkan, prosesnya cukup mudah. Apalagi, ada dua kakak sepupunya yang sudah lebih dahulu dititipkan di tempat itu.

Menitipkan anak di day care adalah pilihan yang tidak sembarangan. Apalagi aku adalah stay-at-home dad, jadi sebenarnya aku pun bisa menjaganya di rumah sembari bekerja. Namun, jika aku hendak mengantarkan istriku ke kantor, atau ada keperluan lainnya, maka kami harus menitipkan Hagi ke neneknya. Itu cukup merepotkan untuk ibuku, karena beliau sudah cukup sepuh, dan Hagi adalah anak yang sangat-sangat aktif. Apalagi rumah ini adalah rumah komunal—begitu aku menyebutnya—dengan barang-barang yang saling bercampur, dan ada tiga kepala keluarga di sini. Aku tidak leluasa untuk menyulapnya menjadi kid-proof zone dan Hagi pun tidak leluasa untuk bermain dengan aman.

Selain itu, banyak anak-anak kerabatku yang lebih mandiri dan terasah social-skill mereka setelah banyak bermain dengan teman yang sebaya. Ada yang dulunya enggan untuk ngomong, kini menjadi lebih ceriwis. Bahkan ada yang sudah ceriwis keminggris, jago berbahasa Inggris. Ada pula yang dulu sangat pelit berbagi mainan, kini menjadi lebih berbagi. Kekurangan teman sebaya itulah yang hendak kututupi dengan menitipkan Hagi di day care.

Berikut ini adalah sedikit tips berkenaan dengan taman penitipan anak (TPA) atau day care:

  1. Tentukan prioritas. Apakah benar-benar membutuhkan day care? Lantas, ingin memilih yang dekat dengan tempat kerja atau rumah? Catat semua dan buat daftar.
  2. Galilah info mengenai day care jauh-jauh hari sebelum benar-benar membutuhkannya. Seringkali, TPA membatasi jumlah anak yang dititipkan. Jadi lebih baik sesegera mungkin daripada menyesal di kemudian hari.
  3. Gunakan internet. Selain bertanya kepada sanak famili dan kerabat, peramban internet pun ada untuk membantu mencari TPA dengan reputasi yang baik.
  4. Sebaiknya memilih TPA yang sudah terdaftar di Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah. Menurutku, TPA yang demikian terkesan tidak main-main, tidak hanya mementingkan faktor bisnis semata.
  5. Perhatikan rasio antara guru atau pengasuh dan anak asuh. Hindari TPA dengan jumlah pengasuh yang terlalu sedikit. Untuk balita, rasio yang disarankan adalah 1:3, 1 pengasuh untuk 3 anak asuh. Namun rasio ini bergantung kepada kondisi dan luas TPA, serta dapat berubah seiring pertambahan umur anak asuh.
  6. Wawancarai para pengasuh dan gali latar belakang mereka. Apakah mereka pernah menempuh pendidikan mengenai anak usia dini?
  7. Tanyakan aturan-aturan dasar, kurikulum, kelengkapan fasilitas bermain dan belajar, jadwal kegiatan dan istirahat atau tidur siang, bagaimana aturan tentang anak yang sakit (apalagi jika ada yang sakitnya menular), kualitas dan kebersihan makanan atau snack yang disajikan, fasilitas sanitasi, dan aturan penjemputan anak.
  8. Beri tahu semua info tentang anak yang sekiranya perlu diketahui oleh para pengasuh. Apakah ada perilaku khusus? Apakah anak mempunyai alergi? Jelaskan semua.
  9. Ajaklah anak untuk mengunjungi day care yang telah lolos kualifikasi kita. Biarkan mereka mencobanya sendiri dan berkenalan dengan calon pengasuhnya. Lebih baik secara berulang beberapa kali sebelum benar-benar menitipkan si anak di tempat itu.
  10. Trust your gut. Seringkali, jika memang ada yang tidak berkenan di hati berarti memang TPA itu tidak ditakdirkan untuk putra-putri kita. Jangan berputus asa, lebih baik mencari TPA yang lain.

Tidak ingin menitipkan anak di TPA pun tak mengapa. Jika memang mampu, dan lebih banyak kebaikan untuk si anak jika diasuh di rumah, maka itu lebih baik. Bahkan, jika memang bisa, bekerjalah di rumah sambil mengasuh anak, itu pilihan orang tua yang keren. Semoga, kelak jika Hagi sedikit lebih besar, aku diberikan kemampuan yang sedemikian. Amiin.

In & Out

Segala yang masuk, harus ada yang keluar. Kurasa demikianlah sunatulloh hidup ini.

Jika memasukkan makanan, maka akan ada kotoran yang harus dikeluarkan. Jika mendapat upah, maka harus ada zakat yang dibayarkan. Jika memasukkan itu ke itunya, maka tunggu sajalah, dengan ijin Allah akan ada manusia kecil yang keluar beberapa bulan atau tahun lagi. Hehe, contoh yang terakhir rada ngasal.

Ada yang masuk, ada yang keluar. Equilibrium. Begitulah intinya.

Meskipun ada yang keluar, namun itu tidaklah selalu menjadi hal yang sia-sia, produk buangan, ampas. Karena menurutku semuanya adalah berkah Allah (jika ada yang bilang manusia kecil tadi itu bukan berkah dari Allah berarti rada slendro). Jikapun yang dikeluarkan itu tidak terlalu bermanfaat bagi pihak yang mengeluarkan, ya masih tetap ada berkah Allah untuk makhluk yang lain, yang dengan kehendak Allah akan berbalik kepada kita dalam rupa yang beragam. That’s the cycle of life.

Malapetaka menanti ketika produk keluaran terhambat untuk keluar, sembelit misalnya. Selain itu, kesia-siaan yang sesungguhnya adalah upaya untuk menghalangi jalan keluar dari produk-produk yang sudah digariskan untuk keluar. Karena suatu saat nanti, pada akhirnya produk-produk itu pun akan memberontak keluar dalam rupa yang beragam, dan kembali memberikan efek kepada kita dalam rupa yang beragam pula. Sekali lagi, that’s the cycle of life, sudah jalannya begitu.

Maka hari ini aku mulai menunggu. Menunggu hasil apa yang akan diperoleh kelak, setelah hari ini orang-orang di rumah orang tuaku ini tidak rela membuang atau menjual kulkas lama. Meskipun sudah membeli kulkas yang baru, meskipun aku sudah berusaha mengingatkan. Semoga dilindungi dari hal-hal yang tidak baik.

Mati hanya mengenakan kafan, disemayamkan dalam ruang yang sempit, tak membawa apa-apa selain amal. Hidup sederhana sajalah, Ro!

Nilai

Kemarin, aku sedikit berdebat dengan ibuku.

Mulanya ibuku bercerita bahwa kakekku pernah menggunakan cara yang sederhana untuk menguji karakteristik putra-putrinya. Caranya yaitu dengan menyuguhkan makanan untuk disantap kembulan, atau bareng-bareng dalam satu nampan besar untuk semuanya. Dari pola makan kembulan putra-putrinya, kakekku menilai bagaimana karakter mereka. Ada yang makannya serakah maka dinilainya sebagai anak yang serakah, yang makannya sedikit adalah anak yang suka mengalah, yang suka berbagi lauk adalah anak yang tidak egois, dan sebagainya.

Aku pun menyeletuk, bahwa jika semudah itu menilai karakter manusia maka sesungguhnya kita tidak membutuhkan lagi belajar ilmu psikologi. Hehe, biasalah, skeptis akut Cap Coro.

Pikirku, kok enteng jika karakter manusia yang begitu kompleks, yang terbangun dari kristal-kristal pengalaman hidupnya, bisa kita nilai dari satu kejadian saja. Untuk kasus kembulan di atas, bukankah bisa saja yang serakah itu ternyata telah berjam-jam menahan lapar, yang sedikit makannya sebenarnya memang tidak doyan makan, dan yang berbagi lauk ternyata tidak menyukai lauknya? Lha wong, Khidir AS yang nabi saja menetapkan tiga perkara untuk benar-benar “menilai” Musa AS. Mosok ya manusia-manusia kroco semacam kita ini dianugerahi karomah yang melebihi nabi? Ah, mana ada.

Namun, sejatinya aku pun tidak rela jika ada upaya untuk menghilangkan kebiasaan menghakimi, menilai, memberi label kepada orang lain. Karena itu lumrah, menurutku. Yang demikian itu adalah sifat dasar manusia. Dan sesungguhnya manusia yang bijak adalah yang hidup berdasar sunatulloh, tidak menentang naluri-naluri dasar kemanusiaannya, tidak berlebihan, dan mampu mengarahkannya pada jalan yang benar. Ambillah contoh kasus memilih jodoh. Bukankah wajar jika kita menilai dahulu kepribadian si calon pendamping, keelokan hati dan rupanya, baru kemudian memutuskan untuk menikahinya?

Hidup ini adalah urusan nilai-menilai, kawan. Baguskah nilaimu?

Wallohu a’lam.

Doaku Untuk Anakku

Umumnya, para bayi baru bisa membedakan kondisi siang dan malam, bangun di siang hari dan tidur di malam hari, kira-kira ketika menginjak usia 4 atau 5 bulan. Anomali jam dan pola tidur bayi pada fase awal pertumbuhan mereka tersebut adalah salah satu momok yang sering dikeluhkan para orang tua baru.

Sebenarnya ada trik-trik yang bisa diterapkan untuk mengajarkan pola tidur orang dewasa pada bayi. Beberapa referensi menganjurkan untuk meminimalisasi interaksi di malam hari ketika bayi terbangun, dan sebaliknya, memperbanyak aktifitas dan mengurangi tidur bayi di siang hari. Saat malam, orang tua bisa sedikit mengacuhkan si bayi dan hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti minum susu atau ganti popok. Dengan demikian, bayi bisa belajar mengenali bahwa malam adalah waktu untuk orang dewasa tidur, waktu yang sunyi dan sepi, hingga akhirnya si bayi belajar memilih untuk lebih banyak beraktifitas di siang hari dan tidur di malam hari. Ada juga Ferber Method yang cukup sering diadopsi di film-film Hollywood, meski dinilai sedikit ekstrim dalam upayanya untuk menidurkan bayi, bisa dibaca di Wikipedia dan BabyCenter.

Alkhamdulillah, sejak usia anakku 1,5 bulan, aku dan istriku tidak lagi direpotkan dengan masalah anomali tidur itu. Sejak usia itu hingga kini beranjak 4 bulan, Hagi, anak kami, akan beranjak tidur setiap ba’da Isya hingga pagi subuh.

Namun, jujur, kami tidak pernah benar-benar mencoba cara yang kusebutkan di atas. Jika aku juga terbangun (istriku yang lebih sering bangun malam), aku malah lebih sering membuat keributan dan merecoki istriku dengan mengajak Hagi bermain. Aku dan istriku tidak menggunakan metode apapun, kecuali mungkin satu amalan yang kulakukan dulu ketika istriku mengandung: setiap ada kesempatan, aku selalu berdoa dan membisikkan harapanku tentang Hagi sembari mengelus-elus perut istriku yang hamil membuncit, juga setiap selesai sholat.

Serius. Kutuliskan di sini tanpa bermaksud untuk riya’ dan sombong, semoga.

Aku sudah berulang kali membuktikan bahwa melalui doa, dengan uluran bantuan Allah, semua hal di dunia ini adalah mungkin untuk terjadi. Maka jika aku menginginkan anakku termasuk dalam kategori low maintenance, aku mendoakannya demikian. Pun jika aku menginginkannya untuk kelak bisa menghidupkan namanya yang Salman, yang Rahmadya, yang Rahagi, yang Hagi, dapat berperilaku aktif, gigih, cekatan dalam menebarkan kasih sayang dan kedamaian bagi lingkungannya, dianugrahi Allah kasih sayang dan cahaya kebijaksanaan, maka aku mendoakannya demikian.

Hampir semua harapanku untuk Hagi tertuang pada doaku, kusebutkan dan kulantunkan dengan detail. Aku berdoa agar dia menjadi anak yang shalih, sehat jasmani rohani, bagus dan rupawan, tidak sakit-sakitan (Hagi cukup kebal terhadap penyakit, alkhamdulillah), menjadi anak yang cerdas, tidak terlalu rewel, tidak selalu ingin digendong (karena ada keponakanku yang sering menangis jika tidak digendong), gampang makannya, tidak pilih-pilih makanan, tidak banyak alergi, cekatan dalam segala hal, penurut, aktif tetapi tidak hiperaktif, pandai mengaji Quran, rajin sholatnya, jujur, dan rendah hati. Aku dan istriku juga selalu dan selalu berdoa agar Hagi bisa senantiasa menyenangkan hati kami orang tuanya dan orang-orang lain di sekitarnya.

Sayangnya, aku melupakan satu hal, sang ibu. Aku hanya mendoakan sekenanya untuk istriku. Dan mungkin, tanpa bermaksud merendahkan kuasa dan kehendak Allah, itulah yang menyebabkan ASI istriku tidak terlalu bancar. Aku menyesalinya hingga kini.

Sejauh ini sebagian besar doaku terkabulkan, alkhamdulillah. Setiap pagi, aku bekerja dari rumah, di depan komputer, dan Hagi selalu menemaniku di ranjang di ruang kerjaku. Jarang sekali rewel, hanya sesekali menangis ketika merasa lapar, dan kembali tenang untuk bermain atau melantunkan suara-suara khas bayi ketika sudah kenyang. Sungguh sungguh menyenangkan. Aku malah pernah sesumbar tidak lagi membutuhkan white noise dan Coffitivity, suara Hagi sudah cukup.

Teruntuk para calon orang tua (heh Fiz, Hafiz!), doakanlah calon anakmu, semenjak dia masih di dalam kandungan. Ajaklah berinteraksi sejak anak sudah bisa mendengar meski masih di dalam kandungan. Perbaikilah kesalahanku, doakan juga si ibu, mintalah anugerah keselamatan dan kesehatan untuknya ketika mengandung, ketika melewati proses melahirkan, hingga nanti ketika bersama-sama membesarkan anak.

Aku selalu percaya, doa mampu menciptakan generasi yang lebih baik. Aku harap engkaupun demikian.

Something Bigger than Myself

[Tina] Alright, moving on. Do you feel a responsibility to contribute to something bigger than yourself?

I guess so. Living a life that’s just about you is kind of a failure, isn’t it? I don’t think you need to change the world, and I don’t think that trying to put a dent in the universe is for everybody—in fact, I think that quote is kinda bullshit. But I do think you should live for something other than yourself because if you don’t, you’re totally unbearable. I think it’s important to leave room in yourself for something more than you.

As far as higher purpose in my work, it doesn’t matter, as long as I don’t do any harm. If I can contribute through my work, that’s great—and preferable. However, my experience says that that chance isn’t always there, and to act like it is always there is a bit disingenuous. If I get a chance to write about something I’ve learned, make someone feel more understood, or build something that helps someone, then that’s worth my time.

I’m a little allergic to the talk in the industry right now about “world changing.” Obviously things need to change, but it’s not just through design. It’s politics. Personal practices. All sorts of stuff. I guess the reason I get itchy around all this “world changey-designy” stuff is because it feels like hyperbole—like the way someone who lacks self-confidence would speak too highly of themselves. I’m allergic to braggadocio. Design can have that kind of influence, but I don’t think it’s the norm. And even in the instances where design can have that kind of influence, we’re usually using “design” as a synonym for straight-up smart planning. Lots of people can do that, not just designers. Don’t put a fence around it.

I suspect that the people who have a huge influence very rarely get into what they’re doing expecting that. For example, look at the very designy, impactful humanitarian organizations, like charity: water; even that starts with building a well, person to person, and collects the small things into something larger. Even if it doesn’t grow into something larger, it’s still something meaningful to a small group of people. Those people still have that well. That’s what I feel convicted to do—to foster and cater to small groups. If it scales or grows, that’s fine; if it doesn’t, then I’m content and happy to have been able to do anything at all. But, there are different viewpoints on this. I have friends who work at Facebook who really value reach. That’s why you go work there. But I prefer resonance. It’s not always one or the other, but there is usually a trade-off between the two.

This is an unpopular opinion, but my thought is that if a designer actually wanted to help to improve things, they wouldn’t design a poster—they’d be ladling soup, which has a more immediate result to their effort. There are personal benefits, but they’re internal. I’ve contributed to things like drives or poster campaigns in the past, and it still makes me feel weird because it’s supposed to be for charity, but I still get something from it. Promotion, whatever. It doesn’t feel clean to me.

— Frank Chimero, from The Great Discontent

Hamil, Menyusui, dan Puasa Ramadhan

Sejatinya memang wanita hamil dan menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa di kala Ramadhan. Apabila khawatir akan kondisi kesehatan ibu saat hamil, atau kondisi sang bayi, si ibu boleh mengganti puasa di hari lain (qada) atau dengan membayar fidyah. Meski tentu saja, ada syarat dan ketentuan yang berlaku.

Namun, aku tetap meminta istriku untuk tetap berpuasa.

Padahal istriku termasuk golongan ibu yang produksi air susunya tidak terlalu bancar, atau banyak. Hagi, anak kami, juga mengalami kesulitan minum ASI langsung dari payudara ibunya. Jadi setiap hari, setiap 3 jam sekali, istriku memompa ASI untuk ditampung di botol susu, kemudian disimpan dan diminumkan jika tiba waktunya Hagi minum susu. Seharusnya istriku semakin berhak untuk tidak puasa. Tetapi aku tetap memintanya untuk puasa.

Beginilah penjelasanku padanya.

Kenapa sih kita diperintahkan puasa, apa manfaat puasa? Selama ini, manusia berusaha mempelajari manfaat puasa, ada yang berkata berpuasa itu menyehatkan fisik dan jiwa. Namun bukan karena itu kita diperintahkan puasa. Sama dengan alasan babi diharamkan, bukan karena ada resiko kandungan cacing pita di dalam daging babi, namun karena memang demikianlah kehendak Allah.

Puasa pun, adalah kehendak Allah, untuk-Nya. Puasa itu untuk Allah dan Allah sendiri yang akan membalasnya. Kita tidak benar-benar mengerti balasan Allah tersebut akan datang dari pintu yang mana.

Ilmu manusia sangat sangat jauh jika dibandingkan keluasan ilmu Allah. Kita tidak benar-benar mengerti apa manfaat puasa. Kok puasa, bagaimana sel kita menyembuhkan diri mereka sendiri pun kita tidak benar-benar paham. Juga bagaimana organ-organ tubuh kita bekerja, kita tidak bisa melihatnya sendiri. Bagaimana cairan susu bisa merembes keluar dari daging yang semula kering, kemudian memberi nutrisi dan rasa kenyang pada bayi, itu kan ilmunya Allah. Allah yang jauh lebih paham.

Jadi aneh kan, jika kemudian ketika kita menukar 1001 manfaat yang mungkin masih tersembunyi di dalam puasa Ramadhan hanya untuk menghindari 1 keburukan yang juga masih belum tentu akan terjadi, yang masih berupa kekhawatiran.

Alkhamdulillah, ternyata setelah berpuasa, ASI yang diproduksi istriku malah semakin banyak. Namun, kemudian istriku berhalangan, karena haid, dan sampai saat ini belum melanjutkan berpuasa.

Maka awal Ramadhan kemarin, menjadi ibrah untukku. Bahwa memandang segala sesuatu yang datang dari perintah Allah haruslah dengan khusnudzon. Semuanya dicoba dulu, semampu kita, sampai mana kita bisa menjalankannya. Tak perlu khawatir, berteman dengan Allah akan selalu mendatangkan kemakmuran dan kebaikan, meski terkadang tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Allah yang Maha Tahu, jika diberi-Nya rizki maka sepatutnya kita bersyukur, dan jika diberi cobaan kita bersabar.

Hidup yang indah, kan?

Yaa bunayya

Nak, engkau belum jua lahir, usiamu masih 24 minggu di rahim ibumu, tetapi berkat rahmat Allah, engkau telah menghadirkan keajaiban-keajaiban kecil di rumah ini.

Semoga kelak engkau terlahir dalam keadaan sehat, bapak dan ibumu tak sabar berjumpa denganmu. Kami tak sabar untuk mengenalkanmu pada penciptamu, pada Muhammad, pada kakek dan nenekmu, pada saudaramu, pada dunia, dan pada ilmu-ilmu yang menakjubkan dan ajaib layaknya dirimu.

Sampai saat itu tiba, tumbuhlah dengan nyaman, doa kami teriring untukmu.

Tentang Mati

Kemarin dan hari ini ada dua orang kerabat yang dipanggil berpulang ke rahmatulloh. Yang kemarin adalah mertua dari Hafiz, ayah dari Dyah, keduanya adalah sahabatku, dan yang tadi pagi adalah seorang tokoh pendidikan di Malang, juga kyai, teman dekat bapakku.

Aku hanya menghadiri pemakaman ayah mertua temanku, dan hanya mendengar cerita pemakaman sahabat bapakku dari ibuku, yang menghadirinya. Namun, dapat kusimpulkan bahwa keduanya sungguh orang yang baik dan hebat ketika mereka berdua masih hidup. Pemakaman mereka dihadiri puluhan orang, menyemut, sungguh banyak. Ayah sahabatku dimakamkan jauh dari tempat tinggalnya, aku harus menempuh jalan yang menanjak, dengan perkebunan apel di kanan dan kiriku. Namun Masya Allah, para peziarah rela mengikuti berjalan kaki hingga ke pemakaman. Dan entahlah, keranda yang diusung tampak sangat ringan, para pengusungnya seperti berlari, padahal jalan cukup menanjak dan sangat jauh. Konon, jika keranda yang diusung terasa sangat ringan, almarhum yang diusung di dalamnya ketika hidup memang orang yang baik dan shalih. Wallahu’alam.

Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku memikirkan kematianku sendiri. Apakah nanti akan banyak pula yang mengiringku ke pemakaman, sudahkah hidup ini berguna untuk kebaikan umat yang banyak, aku termenung. Semoga bukan hanya keburukan-keburukanku yang dibicarakan oleh orang lain sesudah aku mati, semoga aku masih bisa bersyukur dengan anugrah kehidupan ini dan berbuat kebajikan lebih banyak lagi. Amiin.

“Perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke dalam laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya.”

— HR. Muslim dan Ibnu Majah

Subhanalloh, sudah 27 tahun aku hidup di dunia ini. Harus bergegas!

Ngadeg Jejeg

Aku tersenyum sendiri membaca tulisan temanku, Hafiz, di Colorwalk-nya. Lagi-lagi, karena pemikiran kami mirip.

Jika Hafiz menuliskan di sana bahwa dia terbiasa menolak pemberian orang lain, sungkan, karena terasa merepotkan si pemberi, aku pun juga demikian. Bedanya aku lebih sungkan meminta bantuan, ketimbang menolak pemberian barang. Aku berpikiran bahwa hadiah adalah rizki yang diulurkan oleh Allah melalui tangan orang lain, maka siapalah aku yang berani menolak rizki-Nya, pertolongan-Nya? Jadi sudah dari dulu aku cuman bisa mesam-mesem, mrenges, sambil bilang, “Suwun yo!”, ketika ada saudara atau kerabat yang memberi hadiah. Rasanya sudah tak sungkan-sungkan lagi. Hehe. Bahkan dulu aku tak pernah sekalipun membeli t-shirt, semua t-shirtku adalah pemberian atau hasil kerja desain t-shirtku sendiri. Mengingat itu semua, aku hanya bisa bersyukur bahwa begitu banyak orang yang peduli kepadaku.

Namun beda halnya dengan menerima bantuan yang memakan tenaga dan waktu orang lain. Untuk urusan-urusan yang notabene kepentinganku, aku lebih suka melakukannya sendiri, bukan semata karena aku OCD, tidak percaya kepada kemampuan orang lain, namun karena aku sepertihalnya Hafiz sungkan merepotkan orang lain. Menurutku, memang seharusnya setiap orang memiliki rasa malu membebani orang lain. Sedikit ganjil memang, jika dipikir-pikir, bantuan tenaga pun bisa dianggap seperti hadiah barang kan? Entahlah, aku tetap memperlakukannya secara beda. Masih saja sungkan.

Jadi tempo hari aku bertekad sesedikit mungkin merepotkan orang lain dalam upaya mempersiapkan pernikahanku (hoi masbro dan mbaksis, aku sudah sah jadi suami! Foto dan beritanya menyusul nanti). Mulai dari undangan, souvenir, tetek bengek birokrasi, salon, catering, sebisa mungkin aku tidak banyak merepotkan orang lain. Aku survey keliling Malang bersama si Nduk, berpatokan pada prinsip-prinsip ekonomi, hasil maksi harga mini. :)

Alkhamdulillah, aku mendapat banyak pelajaran. Dan kurasa itu pula sebabnya aku segan merepotkan orang lain. Aku ingin mendapat ilmu-ilmu baru. Sedangkan meminta bantuan orang lain, selain merepotkan juga menjauhkanku dari kejutan-kejutan, sumber-sumber ilmu baru tersebut. Bisa saja aku meminta bantuan Hafiz untuk menyelesaikan web Gravakadavra, misalnya, namun itu berarti aku menyerah untuk belajar HTML dan CSS. Aku tidak ingin seperti itu.

Sebelum meminta bantuan orang lain, kerjakan sendiri dulu. Jika tidak sanggup dan ada rizki berlebih, bayar orang lain untuk mengerjakannya. Jika tidak sanggup, namun tidak pula mempunyai sesuatu untuk diberikan sebagai penghargaan kepada orang lain, barulah boleh meminta bantuan. Ini adalah patokan yang kupegang dan kuajarkan pada istriku. Meskipun dengan sedikit perkecualian untuk hal-hal yang tidak terlalu merepotkan, misalnya menyuruh keponakan beli gula di warung. :)

Jika bisa berdiri dengan kaki sendiri, kenapa kok harus meminjam kaki orang lain? Kemandirian adalah wujud syukur atas anugrah ilmu, kemampuan, dan keahlian yang dituangkan Allah dari samudra kebijaksanaan-Nya.

Passionate Learning

This is a not-so-short guidance for anyone who will take SNMPTN.

Ketahuilah, tidak ada jaminan bahwa kuliah di perguruan tinggi akan memberimu ilmu yang bermanfaat, atau menunjukkan kepadamu akan seperti apa penghidupan dan kehidupanmu di masa yang akan datang.

But, insya Alloh, you are most likely to suceed in your campus life or in your future if you have a bit more passion in your learning.

Jadi, alih-alih engkau ingin menjadi siapa, ask yourself, kamu suka apa. Tidak perlu berkaca pada orang lain, pun tidak usah peduli mereka telah menjadi siapa dan bagaimana penghidupan mereka.

Let me tell you my own story.