Legacy

Kemarin, catu daya komputerku, si Oren, meleduk. Layaknya petasan kecil, meledak, dan keluar api. Selama sekian detik aku tertegun, kaget, namun sekaligus excited. Baru kali kemarin komputerku meledak dan mengeluarkan api. Sangat sangat keren di mataku.

Oren memang sangat jarang kutidurkan. Hampir setiap hari selalu ada saja bahan untuk kuunduh dari internet, maka setiap kali itu pula dia bekerja. Jika orang lain gemar menimbun barang, baju-baju, pernak-pernik, simply stuffs, untukku those stuffs are my goddamn files: ebook, software, resource untuk megawe, film, video, lagu, komik, foto, game, dan data-data lain yang kadang eksistensinya patut dipertanyakan. Aku menyimpan 1500-an keping disc, yang hampir 90% berupa DVD. Koleksi buku elektronikku, jika kucetak dalam bentuk buku, mungkin rumah ini belum mampu menampungnya. Aku juga penggila anime, dorama, dan manga. I’m simply otaku. Maniak.

Entah apa sebenarnya motivasiku menimbun data-data yang sebagian besar useless, yang keberadaannya tidak terlalu kubutuhkan itu. Kadang aku berdalih bahwa mereka merupakan legacy yang akan kuturunkan ke anak cucu. Aku selalu membayangkan suatu kejadian di mana suatu hari anakku berkumpul bersama temannya, saling membanggakan ayah mereka masing-masing. Ada temannya yang bangga karena ayahnya seorang pilot, ada yang ayahnya seorang DPR, dosen, pengusaha, dll. Lantas anakku, well, dia membanggakanku sebagai penimbun data, penimbun anime dan dorama, dengan ribuan koleksi buku, ayahnya seorang nerd. Lucu banget ya kalo sampe beneran terjadi. :D Tetapi sungguh, aku memang ingin mewariskan semua data-data itu ke keturunanku kelak. “Hey nak, ini lho film yang populer ketika kakekmu masih bujang,” mungkin begitu ujarku mengawali cerita kepada cucuku nanti. Aku ingin ada sedikit ilmu atau serpihan kehidupanku kini yang bisa kutransfer kepada mereka.

Lagipula, menyimpan data jauh lebih murah dan mudah ketimbang menyimpan barang-barang fisik lainnya, pikirku. 1500-an disc atau hardisk eksternal yang kini berkapasitas teramat besar, memang hitungannya masih murah. Namun tetap saja, aku mesti menganggarkan dana khusus, tenaga, juga waktu untuk menyimpan dan menjaga data-data itu, dan itu semua ternyata tidak terlalu murah dan mudah.

Maka momen kemarin membuatku berpikir untuk benar-benar memulai diet data. Aku berjanji akan lebih selektif.

Motivasiku pun berubah. Alih-alih mewariskan data, something physical, aku ingin mewariskan sesosok figur, sebuah nama, aku, yang mampu menggunakan semua resource, koleksi, ilmu, dan hidupnya demi kemaslahatan orang banyak. Seorang nerd sejati.

Lebaran Old Skool

Seperti biasa, hampir di setiap perayaan lebaran, di setiap get-together yang diadakan oleh keluarga besarku di awal Muharram, aku bisa mencatat adanya suatu tema tertentu. Untuk Lebaran tahun ini, bertemakan sekolah.

Super. Boring.

Ada kerabat yang jauh-jauh menempuh studi lanjutan mengenai desain web di luar negeri hanya untuk mendapatkan ilmu yang kukira tak jauh beda dan tak lebih dalam dari hasil belajar mandiri dan gawenya temanku, si Hafiz. Ada juga kerabatku yang lainnya, yang rupanya bernasib hampir mirip denganku, terlambat menyadari bahwa kuliahnya dan passionnya yang sekarang sungguh jauh bertolak belakang. Ada juga yang curhat betapa rumitnya mencari penghidupan untuk membiayai anaknya yang bercita-cita untuk sekolah kedokteran. Dan aku, aku juga tak luput didesak-desak untuk melanjutkan sekolah S2.

Aih, old skool tenan.

“Ora sekolah, tapi kan belajar. Dan menghasilkan,” selalu begitu kilahku. Setiap aku berkilah, batinku selalu tertawa karena teringat oleh satu gelar lucu di satu halaman Facebook, Gelar BB., Sb. Pun setiap aku berkilah, aku selalu kembali bertanya apakah aku benar telah berkarya dan menghasilkan atau sekedar nggubis kepada orang-orang itu.

Jangan salah sangka, teman. Aku bukan anti-sekolah. Aku hanya anti kepada kemubadziran. Dan bolehlah sedikit ditambahkan bahwa aku memang malas untuk sekolah lagi. Menurutku, sekolah, khususnya kuliah di perguruan tinggi, mempunyai tiga manfaat utama. Yang pertama, berkaitan dengan waktu. Yang kedua, adalah komunitas. Dan yang ketiga adalah perolehan gelar.

Pertama, tentang waktu. Kukira, dengan sekolah, akan lebih mempercepat waktu belajarmu. Kita diberi sekian waktu jadwal untuk belajar di kelas, jadwal uji coba di lab, jadwal untuk belajar mandiri, serta jadwal lulus yang mau tidak mau mesti kita tepati karena kita terikat dengan sistem sekolah tersebut. Alokasi waktu yang telah terjadwal ini, serta kedisiplinan kita untuk menepatinya kukira akan mempercepat proses pemahaman kita, dibandingkan dengan jika kita otodidak atau belajar mandiri tanpa sekolah.

Namun, perkara waktu ini sungguh relatif. Banyak orang merasakan sulitnya untuk mengatur waktu, berdisiplin, dan menggiatkan diri untuk belajar mandiri. Aku pun turut merasakan kesulitan itu. Aku berperang sekian lama melawan ketidakdisiplinanku. Akan tetapi, seandainya saja kita mampu mengalokasikan waktu untuk belajar mandiri layaknya jadwal belajar di kelas, kukira itu sudah cukup menjadi modal untuk menolak sekolah. Dan aku, aku memilih jalan itu.

Kedua, perkara komunitas. Disadari atau tidak, belajar dengan orang banyak, berkelompok, bertemu dengan orang-orang yang mempelajari satu bidang ilmu yang sama dengan kita, adalah pengalaman yang sungguh menyenangkan. Selain itu, dari komunitas itu mungkin kita bisa mendapatkan mentor, guru, dosen, ‘penilai’ hasil belajar kita. Mungkin ada dari kita yang berkilah bahwa internet telah memfasilitasi hal itu, untuk bersosialisasi dan belajar bersama. Namun, kurasa, komunitas online di dunia maya belum bisa menggantikan komunitas yang terbentuk saat kita sekolah. Sahabat-sahabatku hingga kini adalah orang-orang yang dulu pernah satu SMP, satu SMA, atau satu perguruan tinggi denganku.

Lantas, solusinya? Ya bangunlah sendiri komunitas itu atau bergabung dengan komunitas yang sudah terbentuk. Jika ingin belajar fotografi, ya bergabung saja dengan komunitas fotografi, hunting bareng dengan mereka, silaturrahmi. Belajar mandiri lantas berkumpul dengan orang-orang yang berminat pada satu bidang ilmu yang sama adalah lebih baik daripada belajar nggethu dari buku, dari internet, praktek di mini lab di rumah, sendirian. Sudah terbukti.

Ketiga, perkara gelar. Dunia ini masih membutuhkan orang-orang dengan gelar tertentu. Tetapi di era global sekarang ini, orang-orang akan mulai lebih melihat track record, real skill, dan portofolio. Dan di duniaku yang sekarang, aku sungguh tidak membutuhkan gelar akademik apapun. Persetan dengan korporasi atau orang-orang yang menilai orang lain dari embel-embel gelar di depan atau di belakang namanya. Sudah cukup bagiku satu gelar, muttaqien, yang insyaAlloh akan kukejar untuk kudapatkan sampai nanti aku mati.

Intinya, aku akan sekolah, jika aku merasa butuh untuk sekolah. Aku dengan senang hati membuang uangku, jika aku merasa sekolah itu lebih menyenangkan, lebih mempercepat pemahamanku akan suatu ilmu, dan lebih mempermudahku.

Tidak sekolah, tetapi bukan berarti saya bodoh.

Salam manis dan cumbu mesra *haiyyah*,

Rukma Pratista, BB., Sb.

Tentang Kacamataku

I love my new glasses.

Tidak terlalu baru sih, tapi juga masih belum lama. Dan tiba-tiba aku sedang ingin membahasnya sekarang.

Well, seperti yang para pembaca setia Cap Coro ketahui (haiyyah), aku getol memburu kacamata nerd beberapa bulan terakhir. Kacamataku yang lama patah dan entah aku tidak ingat sudah berapa kali lem Alteco kugunakan untuk menyatukan patahannya. Aku bertahan setahun menggunakan kacamata tambalan. Maka dimulailah misi aku mencari dan mencari kacamata yang murah dan keren. Dan Februari lalu pencarianku berakhir di Matos Malang.

Fitur yang paling kusuka dari kacamataku yang baru tentu saja adalah bingkainya yang tebal dan nerdy. Plastik, coklat, dan glossy. Kata si Nduk lebih bagus yang coklat (waktu itu ada warna coklat, hitam, dan ungu) karena kesannya jadi tidak kaku, warnanya ngeblend (you know what, she really read my mind that time, ketika aku sedang memilih-milih warna).

Kini, kacamata coklatku juga tidak lagi menggunakan bantalan hidung tambahan. Masalah yang paling sering membuatku dongkol dengan kacamata berbantalan hidung tambahan adalah munculnya lendir-lendir hijau yang lengket dan susah dibersihkan di bagian bantalan hidung tersebut. Nah, sekarang aku tidak lagi repot, karena bantalan hidung kacamataku menyatu dengan frame. Agak sering melorot jadinya, tapi aku jadi mempunyai gaya menaikkan kacamata yang cool abis (muhahaha).

Ah, aku jadi ingat, aku harus membeli beberapa frame lagi. Mungkin 3 atau 4 frame lagi sebagai cadangan. Lha wong murah meriah, satu frame 100 ribu rupiah saja. Ya ya, kan kuingat-ingat rencana ini jika sudah gajian.

Dengan tambahan kaos geek Tretles baru, kado dari Hafiz dan istrinya, Hidayatul, aku sungguh tampak mempesona di Firefox 4 Launching Party tempo hari. Keliatan sekali nerdesigner nan trendy (nak, letakkan kembali sandal yang kan kau lempar!). Hihihi.

Maturunuwun ya Alloh. ;D

On Being Typomaniac

I’m obviously a typomaniac. Other people like looking at girls’ bottoms. I get my kicks out of looking at type.

— Erik Spiekermann

Aku gak segitunya. Tapi sithik-sithik wis mulai ngunu HARE. Kalo nemu font cantik langsung ada perasaan yang menggelora di dalam dada. Medheni.

Kalo Hafiz doyan online shopping di FJB Kaskus, eBay, Amazon, dsb, aku malah cuci mata ke FontShop, Ascender, FontSpring, sama MyFonts. Untunge PayPal-ku kosong, dadi isok’e njupuk’i sing rego $0. Iku ae wis deg-deg-ser pas download. Medheni.

Typography

Hambu, aku kecanduan segala hal yang berkaitan dengan typography. Mulai kapan hari leles dan baca buku-buku tentang kerning, specimen, family, free font, lisensi, dll. Ketagihan HARE.

Mulai retro, blackletter, sans serif, script, tak pentelengi siji-siji. Lantas mulai kemarin aku mengatur, mengategorikan font-font sesuai tipenya. Linotype Fontexplorer X gak metu-metu nang Windos sisan. Mbencekno.

Masa nambah lagi OCD-ku? Typography nerd? Setiap melihat logo, kemasan produk, bungkus makanan, poster, gambar, kartu nama, selalu kucermati baik-baik typographynya. Kadang kutiru, kadang kuberi sumpah serapah. Pun jika ada klien yang minta font stencil untuk dijadikan logo restoran, tak omel-omel pindho.

Hambu. OCD.

Tertiary

Mungkin, hingga akhir hayatku nanti, hanya akan 3 barang mewah yang akan selalu masuk dalam kategori wajib beli, wajib punya, dan wajib update.

Satu, super computer.

Dua, super internet connection.

Tiga, super camera kit.

Selain itu, sebisa mungkin aku akan menekan keinginanku. Tidak punya rumah magrong-magrong tidak mengapa, tidak punya mobil juga tidak mengapa, tidak punya gadget keren juga tidak mengapa. Kulkas, mesin cuci, tv, dan lain-lain cukup yang sederhana saja, cukup yang aku kami butuhkan saja.

But those three above, I really need to have those magnificent three. Cukup dengan diparingi kesehatan dan istri sholeh nan menawan hati, plus tiga barang tadi, Insya Alloh aku sudah terpuaskan kok. Gak aneh-aneh. Meski di rumah nanti istriku hanya bisa nggoreng ikan asin dan nyambal terasi plus lalapan, aku nggak akan protes. I’m that simple.

Hehehe, what a nerd.

Kaskusers

Vak yu Kaskusers! Vak you, your lame lingo, your lame comments, your lame threads, vak you all.

P.S:
Nggak semua Kaskusers itu lame, yah tapi saya adalah pecandu stereotyping, akut.

Machine Sync, part 2

That is seriously cooool!

Masih kepikiran soal sinkro sama mesin tadi. Coba bayangin, jika bisa gitu, kita gak perlu komunikasi dengan mesin lewat bahasa pemrograman komputer, bahasa mesin! Cukup nyamain frekuensi gelombang otak dengan komputer, dan kita bisa memerintah mereka sesuka hati!

C++, C#, Pearl, Ruby, Java, Phyton, PHP, CSS, Fortran, VB, dan lain-lain, sayoooonaraaaaaa!

Damn! I can already see the bright future!