Hagi in Masjid

Jujur, tadi aku sama sekali tidak khusyu’ ketika sholat maghrib di masjid dekat rumah. Tadi adalah kali kedua aku mengajak Hagi (hampir berumur 2 tahun lebih 2 bulan) ke masjid dan aku berulang-ulang memperhatikannya di sampingku mengikuti gerakan sholat.

Dia. Di sampingku. Mengikuti gerakan sholat. Masya Allah!

Sedikit menoleh kesana kemari, tetapi kurasa semua gerakan sholat diikuti olehnya. Kadang, ketika dia terlalu cepat bangun dari sujud, dan melihat sekelilingnya masih sujud, maka dia bersujud kembali. Sungguh lucu. Ketika kami takbir dia takbir, ketika ruku’ dia pun ruku’, sujud dan duduk pun diikuti semampunya.

Sungguh, untuk seorang bapak yang pemalas, yang jarang sekali ke masjid, pemandangan tadi adalah suatu kebahagiaan. Ketika pulang langsung kubangga-banggakan kepada ibunya, kuciumi pipi dan keningnya. Senang sekali rasanya.

Semoga aku bisa menjadi bapak yang senantiasa memberi contoh dan mengajak anak-anaknya kepada kebaikan. Tidak hanya sekedar memerintah dan memberi komando, tetapi benar-benar menjadi teladan. Maghrib tadi adalah ajakan kepada anakku untuk memakmurkan masjid.

Ya Allah, dalem nyuwun diparingi istiqomah.

Gestural Boy

Hagi sudah berumur 441 hari. Atau 1 tahun, 2 bulan, 15 hari. Atau 14,5 bulan.

Seperti yang pernah aku tweet, dia berkembang menjadi anak dengan mercurial temper. Meskipun demikian, kondisinya masih bisa dikatakan wajar dan tidak terlalu sering mengalami perubahan mood yang terlalu ekstrim. But, boy, he sure is lively. Lari sana, lari sini. Panjat kursi sana, panjat tempat tidur sini. Cekatan, seperti namanya.

Oh ya, aku belum bilang, dia sudah bisa berjalan, sedikit sering berlari malahan. Alkhamdulillah. Dan di usia ini, dia sudah memiliki gesture vocabulary yang jauh beragam. Aku pernah menuliskan tentang bagaimana dia suka menirukan gayaku minum kopi, itu masih dilakoninya sampai sekarang, meski tidak sering lagi. Dia sekarang juga suka mengatupkan tangan seperti berdoa, ketika mendengarkan kami berdoa, atau ada yang mengaji. Kadang dia juga berdiri di sampingku, ikut berdiri bersendekap (dengan gesture tangan yang lucu) dan sujud, ketika aku sholat. Ibunya senang sekali melihatnya.

Dia suka dipijit sebelum tidur, jadi seringkali dia menyodorkan kakinya untuk dipijit. Atau menyodorkan bantal kecil, untuk mengipasinya. Ketika tertawa terbahak-bahak, dia sering menutup mulutnya dengan kedua tangan. Entah kebiasaan baik dari mana ini yang dia tiru, karena kami orang tuanya malah tidak demikian ketika tertawa.

Dia juga cukup sering rebutan remote TV dengan kakak-kakak sepupunya, suka memindah-mindah channel TV secara acak dan menjengkelkan penonton lainnya. Kadang apapun yang serupa remote dijadikannya remote, meskipun itu handphone atau tempat bedak sekalipun. Komputerku adalah gadget lain yang sering dijadikannya mainan. Tombol keyboard favoritnya adalah tombol Windows (gambar jendela), karena ketika tombol itu dipencet, kotak-kotak menu Windows 8 akan segera bermunculan. He likes them. Hehe, one step closer to be a hacker.

My lil' hacker

Ada juga gadget lain yang tidak terlalu dia suka: hair-dryer ibunya dan jam wekerku. Mungkin karena keduanya mengeluarkan bunyi aneh dan tampak berbahaya. Kadang ketika ibunya mengeringkan rambut, alih-alih berlari menjauh dia malah segera berlari ke arah ibunya sembari memasang wajah khawatir. “Itu berbahaya, jangan pakai itu!” mungkin begitu pikirnya, seolah mengingatkan. Tetapi itu hanya kadang-kadang, yang sering adalah dia berlari menjauh, mencari perlindungan ke arah orang lain yang dikenalnya.

Hagi sudah jauh lebih bisa diajak berkomunikasi sekarang. Kami kadang memintanya mengambil barang, dan dia mau mengambilkannya. Kadang kami pura-pura tidak tahu lantas bertanya di mana botol susunya berada, dan dialah yang menunjukkannya. Hanya saja, kami sedikit khawatir karena kemampuan komunikasi gesturalnya justru berbanding terbalik dengan komunikasi verbal. Dulu dia lebih sering berkata-kata, sudah bisa ngomong beberapa kata seperti “bapak”, “gajah”, dan “kuda”. Kini dia hanya lebih sering menunjuk-nunjuk sambil mengeluarkan suara-suara seperti dulu ketika dia masih bayi kecil. Ada yang bilang mungkin dia terlalu fokus untuk berlatih berdiri dan berjalan sehingga dia lupa pelajaran berkata-kata yang telah lalu. Jadi untuk saat ini kami masih menganggapnya sebagai hal yang wajar saja.

Geli

Ya, geli.

Begitulah rasa yang kualami setelah bergembira, excited sekaligus bersedih dalam waktu yang bersamaan. Aku tidak ingat, tetapi seumur hidupku, mungkin baru sore tadi aku mengalaminya. Pada akhirnya kegembiraan dan kesedihan itu lebur, menjadi rasa yang berbeda, yang kemudian membuatku tersenyum.

Teramat asing rasa itu, sampai aku merasa harus menuliskannya di sini.

Doaku Untuk Anakku

Umumnya, para bayi baru bisa membedakan kondisi siang dan malam, bangun di siang hari dan tidur di malam hari, kira-kira ketika menginjak usia 4 atau 5 bulan. Anomali jam dan pola tidur bayi pada fase awal pertumbuhan mereka tersebut adalah salah satu momok yang sering dikeluhkan para orang tua baru.

Sebenarnya ada trik-trik yang bisa diterapkan untuk mengajarkan pola tidur orang dewasa pada bayi. Beberapa referensi menganjurkan untuk meminimalisasi interaksi di malam hari ketika bayi terbangun, dan sebaliknya, memperbanyak aktifitas dan mengurangi tidur bayi di siang hari. Saat malam, orang tua bisa sedikit mengacuhkan si bayi dan hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti minum susu atau ganti popok. Dengan demikian, bayi bisa belajar mengenali bahwa malam adalah waktu untuk orang dewasa tidur, waktu yang sunyi dan sepi, hingga akhirnya si bayi belajar memilih untuk lebih banyak beraktifitas di siang hari dan tidur di malam hari. Ada juga Ferber Method yang cukup sering diadopsi di film-film Hollywood, meski dinilai sedikit ekstrim dalam upayanya untuk menidurkan bayi, bisa dibaca di Wikipedia dan BabyCenter.

Alkhamdulillah, sejak usia anakku 1,5 bulan, aku dan istriku tidak lagi direpotkan dengan masalah anomali tidur itu. Sejak usia itu hingga kini beranjak 4 bulan, Hagi, anak kami, akan beranjak tidur setiap ba’da Isya hingga pagi subuh.

Namun, jujur, kami tidak pernah benar-benar mencoba cara yang kusebutkan di atas. Jika aku juga terbangun (istriku yang lebih sering bangun malam), aku malah lebih sering membuat keributan dan merecoki istriku dengan mengajak Hagi bermain. Aku dan istriku tidak menggunakan metode apapun, kecuali mungkin satu amalan yang kulakukan dulu ketika istriku mengandung: setiap ada kesempatan, aku selalu berdoa dan membisikkan harapanku tentang Hagi sembari mengelus-elus perut istriku yang hamil membuncit, juga setiap selesai sholat.

Serius. Kutuliskan di sini tanpa bermaksud untuk riya’ dan sombong, semoga.

Aku sudah berulang kali membuktikan bahwa melalui doa, dengan uluran bantuan Allah, semua hal di dunia ini adalah mungkin untuk terjadi. Maka jika aku menginginkan anakku termasuk dalam kategori low maintenance, aku mendoakannya demikian. Pun jika aku menginginkannya untuk kelak bisa menghidupkan namanya yang Salman, yang Rahmadya, yang Rahagi, yang Hagi, dapat berperilaku aktif, gigih, cekatan dalam menebarkan kasih sayang dan kedamaian bagi lingkungannya, dianugrahi Allah kasih sayang dan cahaya kebijaksanaan, maka aku mendoakannya demikian.

Hampir semua harapanku untuk Hagi tertuang pada doaku, kusebutkan dan kulantunkan dengan detail. Aku berdoa agar dia menjadi anak yang shalih, sehat jasmani rohani, bagus dan rupawan, tidak sakit-sakitan (Hagi cukup kebal terhadap penyakit, alkhamdulillah), menjadi anak yang cerdas, tidak terlalu rewel, tidak selalu ingin digendong (karena ada keponakanku yang sering menangis jika tidak digendong), gampang makannya, tidak pilih-pilih makanan, tidak banyak alergi, cekatan dalam segala hal, penurut, aktif tetapi tidak hiperaktif, pandai mengaji Quran, rajin sholatnya, jujur, dan rendah hati. Aku dan istriku juga selalu dan selalu berdoa agar Hagi bisa senantiasa menyenangkan hati kami orang tuanya dan orang-orang lain di sekitarnya.

Sayangnya, aku melupakan satu hal, sang ibu. Aku hanya mendoakan sekenanya untuk istriku. Dan mungkin, tanpa bermaksud merendahkan kuasa dan kehendak Allah, itulah yang menyebabkan ASI istriku tidak terlalu bancar. Aku menyesalinya hingga kini.

Sejauh ini sebagian besar doaku terkabulkan, alkhamdulillah. Setiap pagi, aku bekerja dari rumah, di depan komputer, dan Hagi selalu menemaniku di ranjang di ruang kerjaku. Jarang sekali rewel, hanya sesekali menangis ketika merasa lapar, dan kembali tenang untuk bermain atau melantunkan suara-suara khas bayi ketika sudah kenyang. Sungguh sungguh menyenangkan. Aku malah pernah sesumbar tidak lagi membutuhkan white noise dan Coffitivity, suara Hagi sudah cukup.

Teruntuk para calon orang tua (heh Fiz, Hafiz!), doakanlah calon anakmu, semenjak dia masih di dalam kandungan. Ajaklah berinteraksi sejak anak sudah bisa mendengar meski masih di dalam kandungan. Perbaikilah kesalahanku, doakan juga si ibu, mintalah anugerah keselamatan dan kesehatan untuknya ketika mengandung, ketika melewati proses melahirkan, hingga nanti ketika bersama-sama membesarkan anak.

Aku selalu percaya, doa mampu menciptakan generasi yang lebih baik. Aku harap engkaupun demikian.

Hamil, Menyusui, dan Puasa Ramadhan

Sejatinya memang wanita hamil dan menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa di kala Ramadhan. Apabila khawatir akan kondisi kesehatan ibu saat hamil, atau kondisi sang bayi, si ibu boleh mengganti puasa di hari lain (qada) atau dengan membayar fidyah. Meski tentu saja, ada syarat dan ketentuan yang berlaku.

Namun, aku tetap meminta istriku untuk tetap berpuasa.

Padahal istriku termasuk golongan ibu yang produksi air susunya tidak terlalu bancar, atau banyak. Hagi, anak kami, juga mengalami kesulitan minum ASI langsung dari payudara ibunya. Jadi setiap hari, setiap 3 jam sekali, istriku memompa ASI untuk ditampung di botol susu, kemudian disimpan dan diminumkan jika tiba waktunya Hagi minum susu. Seharusnya istriku semakin berhak untuk tidak puasa. Tetapi aku tetap memintanya untuk puasa.

Beginilah penjelasanku padanya.

Kenapa sih kita diperintahkan puasa, apa manfaat puasa? Selama ini, manusia berusaha mempelajari manfaat puasa, ada yang berkata berpuasa itu menyehatkan fisik dan jiwa. Namun bukan karena itu kita diperintahkan puasa. Sama dengan alasan babi diharamkan, bukan karena ada resiko kandungan cacing pita di dalam daging babi, namun karena memang demikianlah kehendak Allah.

Puasa pun, adalah kehendak Allah, untuk-Nya. Puasa itu untuk Allah dan Allah sendiri yang akan membalasnya. Kita tidak benar-benar mengerti balasan Allah tersebut akan datang dari pintu yang mana.

Ilmu manusia sangat sangat jauh jika dibandingkan keluasan ilmu Allah. Kita tidak benar-benar mengerti apa manfaat puasa. Kok puasa, bagaimana sel kita menyembuhkan diri mereka sendiri pun kita tidak benar-benar paham. Juga bagaimana organ-organ tubuh kita bekerja, kita tidak bisa melihatnya sendiri. Bagaimana cairan susu bisa merembes keluar dari daging yang semula kering, kemudian memberi nutrisi dan rasa kenyang pada bayi, itu kan ilmunya Allah. Allah yang jauh lebih paham.

Jadi aneh kan, jika kemudian ketika kita menukar 1001 manfaat yang mungkin masih tersembunyi di dalam puasa Ramadhan hanya untuk menghindari 1 keburukan yang juga masih belum tentu akan terjadi, yang masih berupa kekhawatiran.

Alkhamdulillah, ternyata setelah berpuasa, ASI yang diproduksi istriku malah semakin banyak. Namun, kemudian istriku berhalangan, karena haid, dan sampai saat ini belum melanjutkan berpuasa.

Maka awal Ramadhan kemarin, menjadi ibrah untukku. Bahwa memandang segala sesuatu yang datang dari perintah Allah haruslah dengan khusnudzon. Semuanya dicoba dulu, semampu kita, sampai mana kita bisa menjalankannya. Tak perlu khawatir, berteman dengan Allah akan selalu mendatangkan kemakmuran dan kebaikan, meski terkadang tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Allah yang Maha Tahu, jika diberi-Nya rizki maka sepatutnya kita bersyukur, dan jika diberi cobaan kita bersabar.

Hidup yang indah, kan?

Masuk Blog

Rukma Pratista:
ya ya :D
akhire mbedah celengane bayi rek, duikku enthek HARE, jik onok sing kudu dituku gawe si bayi

Hafiz Rahman:
ape digae opo lik?
ngko lak onok ae rejeki

Rukma Pratista:
mugo2 ae persalinane normal2 ae, amiin
iyo, amiin
digawe macem2 lik, aku ndhelok ndik list opo ae sing kudu dituku
wingi mari tuku lemari iku langsung torok wis, diamanahi ebes angkot sisan, angkot’e jan bobrok

Hafiz Rahman:
ngko aku ngopi list e :D ate mbenakno angkot tah?
wenak lik passive income

Rukma Pratista:
wis mari, digowo nang bengkel karo sopire
enak lik setore ajeg, saiki rodo tak ketati mergo biyen gak ajeg wong iku
yo pas bapak jik gerah

Hafiz Rahman:
whooo
angkotmu mbok desain2 pisan lik?

Rukma Pratista:
gaaak :))

Hafiz Rahman:
vintage angkot

Rukma Pratista:
lha wis ajur ae arep diapakno neh, cik urip sik

Hafiz Rahman:
vintage style

Rukma Pratista:
HUWAHAHAHA onok sing nowo logoku lik
jaman kapan iki reeeeeek

Hafiz Rahman:
wut? logo gak kegawe?
kaaaan onok ae rejeki :D
sek tas dibahas

Rukma Pratista:
http://brandcrowd.com/logo-design/details/17129
jan iseng2 berhadiah
wis suwe gak mrono

Hafiz Rahman:
400 lik?
wenaaaak

Rukma Pratista:
ora, ditawar mek 100 i

Hafiz Rahman:
HUHAHAHAHA jenenge ae sek lieurdesign

Rukma Pratista:
lucu rek
iyo :))
lik jaman CapCoro biyen langsung masuk bloh iki
blog

Hafiz Rahman:
hghahaha
lebokno lik
gae ceritane anakmu mbesok

It’s been so long since I last used the term of “masuk blog”. :))

Parenting Bias

Akhir-akhir ini aku semakin sering berpikir bahwa keempat orang tua kami (orang tuaku dan mertua), semakin jauh dari sosok orang tua yang ideal. Tolok ukurnya adalah bagaimana kami berdua bertumbuh seperti saat ini, juga saudara-saudara kami, dan bagaimana cara mereka mendidik cucu-cucu mereka (keponakanku dan keponakan istriku).

Aku dan istriku masih tinggal bersama orang tuaku. Kami selalu mengamati kejadian-kejadian di rumah ini. Seringkali, setiap ada kejadian yang menyangkut isu pendidikan dan parenting, membuat kami berdua berdiskusi sendiri layaknya pakar, kemudian menghakimi dan menyalahkan metode-metode didikan yang sering digunakan di sekitar kami. Istriku adalah guru SD dan dia jauh lebih mengerti bagaimana menangani anak kecil ketimbang aku. Bergaul dengannya dan membaca buku-buku juga membuatku lebih mengerti bagaimana cara mendidik anak yang baik. Sejauh ini kami optimis bisa menjadi orang tua yang lebih baik dari orang tua kami.

Mungkin, inilah yang turut disebut sebagai optimism bias.

Seperti halnya ketika kita di jalan raya, kemudian melihat ada orang yang mengendarai mobil atau sepeda motor sambil mengebut atau menggunakan handphone. Pasti otomatis batin kita menghakiminya, menyalahkannya, dan dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa kita tidak pernah melakukannya. Tetapi benarkah? Kemudian batin kita berkata lagi bahwa jikapun kita pernah melakukannya, itu adalah karena keterpaksaan, situasi genting, kebelet buang air besar, dan sebagainya.

Kasusku adalah kasus yang sama dengan contoh di atas. Sungguh, menjadi orang tua tidak akan pernah menjadi perkara yang mudah. Menjadi orang tua yang baik menuntut konsistensi perbaikan diri sendiri. Jangan pernah bermimpi untuk memperbaiki akhlak anak atau orang lain ketika kita enggan untuk memperbaiki diri sendiri. Maka siapalah kami berdua yang bau kencur ini kemudian menghakimi kedua orang tua kami?

Meski demikian, kecenderungan untuk optimis, sebias apapun itu, menurutku tetaplah dibutuhkan. Karena optimisme adalah bagian dari ego, dan ego kitalah yang mendongkrak hasrat dan kehendak kita untuk maju dan menjadi lebih baik.

Semoga kelak kami berdua bisa menjadi orang tua dan suri teladan yang baik. Amiin.

 

BONUS:

 
Anakku, versi alpha, usia 6 bulan:
 
Anakku, versi alpha, usia 6 bulan.

Yaa bunayya

Nak, engkau belum jua lahir, usiamu masih 24 minggu di rahim ibumu, tetapi berkat rahmat Allah, engkau telah menghadirkan keajaiban-keajaiban kecil di rumah ini.

Semoga kelak engkau terlahir dalam keadaan sehat, bapak dan ibumu tak sabar berjumpa denganmu. Kami tak sabar untuk mengenalkanmu pada penciptamu, pada Muhammad, pada kakek dan nenekmu, pada saudaramu, pada dunia, dan pada ilmu-ilmu yang menakjubkan dan ajaib layaknya dirimu.

Sampai saat itu tiba, tumbuhlah dengan nyaman, doa kami teriring untukmu.

Tentang Mati

Kemarin dan hari ini ada dua orang kerabat yang dipanggil berpulang ke rahmatulloh. Yang kemarin adalah mertua dari Hafiz, ayah dari Dyah, keduanya adalah sahabatku, dan yang tadi pagi adalah seorang tokoh pendidikan di Malang, juga kyai, teman dekat bapakku.

Aku hanya menghadiri pemakaman ayah mertua temanku, dan hanya mendengar cerita pemakaman sahabat bapakku dari ibuku, yang menghadirinya. Namun, dapat kusimpulkan bahwa keduanya sungguh orang yang baik dan hebat ketika mereka berdua masih hidup. Pemakaman mereka dihadiri puluhan orang, menyemut, sungguh banyak. Ayah sahabatku dimakamkan jauh dari tempat tinggalnya, aku harus menempuh jalan yang menanjak, dengan perkebunan apel di kanan dan kiriku. Namun Masya Allah, para peziarah rela mengikuti berjalan kaki hingga ke pemakaman. Dan entahlah, keranda yang diusung tampak sangat ringan, para pengusungnya seperti berlari, padahal jalan cukup menanjak dan sangat jauh. Konon, jika keranda yang diusung terasa sangat ringan, almarhum yang diusung di dalamnya ketika hidup memang orang yang baik dan shalih. Wallahu’alam.

Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku memikirkan kematianku sendiri. Apakah nanti akan banyak pula yang mengiringku ke pemakaman, sudahkah hidup ini berguna untuk kebaikan umat yang banyak, aku termenung. Semoga bukan hanya keburukan-keburukanku yang dibicarakan oleh orang lain sesudah aku mati, semoga aku masih bisa bersyukur dengan anugrah kehidupan ini dan berbuat kebajikan lebih banyak lagi. Amiin.

“Perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke dalam laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya.”

— HR. Muslim dan Ibnu Majah

Subhanalloh, sudah 27 tahun aku hidup di dunia ini. Harus bergegas!