Hagi at Daycare

Kemarin lusa adalah hari pertama Hagi belajar di taman penitipan anak. Beberapa hari sebelumnya, aku pernah mengajaknya ke tempat yang sama hanya untuk sekedar melihat-lihat dan mencoba wahana permainan yang ada. Jadi kemarin ketika dia mulai kutitipkan, prosesnya cukup mudah. Apalagi, ada dua kakak sepupunya yang sudah lebih dahulu dititipkan di tempat itu.

Menitipkan anak di day care adalah pilihan yang tidak sembarangan. Apalagi aku adalah stay-at-home dad, jadi sebenarnya aku pun bisa menjaganya di rumah sembari bekerja. Namun, jika aku hendak mengantarkan istriku ke kantor, atau ada keperluan lainnya, maka kami harus menitipkan Hagi ke neneknya. Itu cukup merepotkan untuk ibuku, karena beliau sudah cukup sepuh, dan Hagi adalah anak yang sangat-sangat aktif. Apalagi rumah ini adalah rumah komunal—begitu aku menyebutnya—dengan barang-barang yang saling bercampur, dan ada tiga kepala keluarga di sini. Aku tidak leluasa untuk menyulapnya menjadi kid-proof zone dan Hagi pun tidak leluasa untuk bermain dengan aman.

Selain itu, banyak anak-anak kerabatku yang lebih mandiri dan terasah social-skill mereka setelah banyak bermain dengan teman yang sebaya. Ada yang dulunya enggan untuk ngomong, kini menjadi lebih ceriwis. Bahkan ada yang sudah ceriwis keminggris, jago berbahasa Inggris. Ada pula yang dulu sangat pelit berbagi mainan, kini menjadi lebih berbagi. Kekurangan teman sebaya itulah yang hendak kututupi dengan menitipkan Hagi di day care.

Berikut ini adalah sedikit tips berkenaan dengan taman penitipan anak (TPA) atau day care:

  1. Tentukan prioritas. Apakah benar-benar membutuhkan day care? Lantas, ingin memilih yang dekat dengan tempat kerja atau rumah? Catat semua dan buat daftar.
  2. Galilah info mengenai day care jauh-jauh hari sebelum benar-benar membutuhkannya. Seringkali, TPA membatasi jumlah anak yang dititipkan. Jadi lebih baik sesegera mungkin daripada menyesal di kemudian hari.
  3. Gunakan internet. Selain bertanya kepada sanak famili dan kerabat, peramban internet pun ada untuk membantu mencari TPA dengan reputasi yang baik.
  4. Sebaiknya memilih TPA yang sudah terdaftar di Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah. Menurutku, TPA yang demikian terkesan tidak main-main, tidak hanya mementingkan faktor bisnis semata.
  5. Perhatikan rasio antara guru atau pengasuh dan anak asuh. Hindari TPA dengan jumlah pengasuh yang terlalu sedikit. Untuk balita, rasio yang disarankan adalah 1:3, 1 pengasuh untuk 3 anak asuh. Namun rasio ini bergantung kepada kondisi dan luas TPA, serta dapat berubah seiring pertambahan umur anak asuh.
  6. Wawancarai para pengasuh dan gali latar belakang mereka. Apakah mereka pernah menempuh pendidikan mengenai anak usia dini?
  7. Tanyakan aturan-aturan dasar, kurikulum, kelengkapan fasilitas bermain dan belajar, jadwal kegiatan dan istirahat atau tidur siang, bagaimana aturan tentang anak yang sakit (apalagi jika ada yang sakitnya menular), kualitas dan kebersihan makanan atau snack yang disajikan, fasilitas sanitasi, dan aturan penjemputan anak.
  8. Beri tahu semua info tentang anak yang sekiranya perlu diketahui oleh para pengasuh. Apakah ada perilaku khusus? Apakah anak mempunyai alergi? Jelaskan semua.
  9. Ajaklah anak untuk mengunjungi day care yang telah lolos kualifikasi kita. Biarkan mereka mencobanya sendiri dan berkenalan dengan calon pengasuhnya. Lebih baik secara berulang beberapa kali sebelum benar-benar menitipkan si anak di tempat itu.
  10. Trust your gut. Seringkali, jika memang ada yang tidak berkenan di hati berarti memang TPA itu tidak ditakdirkan untuk putra-putri kita. Jangan berputus asa, lebih baik mencari TPA yang lain.

Tidak ingin menitipkan anak di TPA pun tak mengapa. Jika memang mampu, dan lebih banyak kebaikan untuk si anak jika diasuh di rumah, maka itu lebih baik. Bahkan, jika memang bisa, bekerjalah di rumah sambil mengasuh anak, itu pilihan orang tua yang keren. Semoga, kelak jika Hagi sedikit lebih besar, aku diberikan kemampuan yang sedemikian. Amiin.

Gestural Boy

Hagi sudah berumur 441 hari. Atau 1 tahun, 2 bulan, 15 hari. Atau 14,5 bulan.

Seperti yang pernah aku tweet, dia berkembang menjadi anak dengan mercurial temper. Meskipun demikian, kondisinya masih bisa dikatakan wajar dan tidak terlalu sering mengalami perubahan mood yang terlalu ekstrim. But, boy, he sure is lively. Lari sana, lari sini. Panjat kursi sana, panjat tempat tidur sini. Cekatan, seperti namanya.

Oh ya, aku belum bilang, dia sudah bisa berjalan, sedikit sering berlari malahan. Alkhamdulillah. Dan di usia ini, dia sudah memiliki gesture vocabulary yang jauh beragam. Aku pernah menuliskan tentang bagaimana dia suka menirukan gayaku minum kopi, itu masih dilakoninya sampai sekarang, meski tidak sering lagi. Dia sekarang juga suka mengatupkan tangan seperti berdoa, ketika mendengarkan kami berdoa, atau ada yang mengaji. Kadang dia juga berdiri di sampingku, ikut berdiri bersendekap (dengan gesture tangan yang lucu) dan sujud, ketika aku sholat. Ibunya senang sekali melihatnya.

Dia suka dipijit sebelum tidur, jadi seringkali dia menyodorkan kakinya untuk dipijit. Atau menyodorkan bantal kecil, untuk mengipasinya. Ketika tertawa terbahak-bahak, dia sering menutup mulutnya dengan kedua tangan. Entah kebiasaan baik dari mana ini yang dia tiru, karena kami orang tuanya malah tidak demikian ketika tertawa.

Dia juga cukup sering rebutan remote TV dengan kakak-kakak sepupunya, suka memindah-mindah channel TV secara acak dan menjengkelkan penonton lainnya. Kadang apapun yang serupa remote dijadikannya remote, meskipun itu handphone atau tempat bedak sekalipun. Komputerku adalah gadget lain yang sering dijadikannya mainan. Tombol keyboard favoritnya adalah tombol Windows (gambar jendela), karena ketika tombol itu dipencet, kotak-kotak menu Windows 8 akan segera bermunculan. He likes them. Hehe, one step closer to be a hacker.

My lil' hacker

Ada juga gadget lain yang tidak terlalu dia suka: hair-dryer ibunya dan jam wekerku. Mungkin karena keduanya mengeluarkan bunyi aneh dan tampak berbahaya. Kadang ketika ibunya mengeringkan rambut, alih-alih berlari menjauh dia malah segera berlari ke arah ibunya sembari memasang wajah khawatir. “Itu berbahaya, jangan pakai itu!” mungkin begitu pikirnya, seolah mengingatkan. Tetapi itu hanya kadang-kadang, yang sering adalah dia berlari menjauh, mencari perlindungan ke arah orang lain yang dikenalnya.

Hagi sudah jauh lebih bisa diajak berkomunikasi sekarang. Kami kadang memintanya mengambil barang, dan dia mau mengambilkannya. Kadang kami pura-pura tidak tahu lantas bertanya di mana botol susunya berada, dan dialah yang menunjukkannya. Hanya saja, kami sedikit khawatir karena kemampuan komunikasi gesturalnya justru berbanding terbalik dengan komunikasi verbal. Dulu dia lebih sering berkata-kata, sudah bisa ngomong beberapa kata seperti “bapak”, “gajah”, dan “kuda”. Kini dia hanya lebih sering menunjuk-nunjuk sambil mengeluarkan suara-suara seperti dulu ketika dia masih bayi kecil. Ada yang bilang mungkin dia terlalu fokus untuk berlatih berdiri dan berjalan sehingga dia lupa pelajaran berkata-kata yang telah lalu. Jadi untuk saat ini kami masih menganggapnya sebagai hal yang wajar saja.

In & Out

Segala yang masuk, harus ada yang keluar. Kurasa demikianlah sunatulloh hidup ini.

Jika memasukkan makanan, maka akan ada kotoran yang harus dikeluarkan. Jika mendapat upah, maka harus ada zakat yang dibayarkan. Jika memasukkan itu ke itunya, maka tunggu sajalah, dengan ijin Allah akan ada manusia kecil yang keluar beberapa bulan atau tahun lagi. Hehe, contoh yang terakhir rada ngasal.

Ada yang masuk, ada yang keluar. Equilibrium. Begitulah intinya.

Meskipun ada yang keluar, namun itu tidaklah selalu menjadi hal yang sia-sia, produk buangan, ampas. Karena menurutku semuanya adalah berkah Allah (jika ada yang bilang manusia kecil tadi itu bukan berkah dari Allah berarti rada slendro). Jikapun yang dikeluarkan itu tidak terlalu bermanfaat bagi pihak yang mengeluarkan, ya masih tetap ada berkah Allah untuk makhluk yang lain, yang dengan kehendak Allah akan berbalik kepada kita dalam rupa yang beragam. That’s the cycle of life.

Malapetaka menanti ketika produk keluaran terhambat untuk keluar, sembelit misalnya. Selain itu, kesia-siaan yang sesungguhnya adalah upaya untuk menghalangi jalan keluar dari produk-produk yang sudah digariskan untuk keluar. Karena suatu saat nanti, pada akhirnya produk-produk itu pun akan memberontak keluar dalam rupa yang beragam, dan kembali memberikan efek kepada kita dalam rupa yang beragam pula. Sekali lagi, that’s the cycle of life, sudah jalannya begitu.

Maka hari ini aku mulai menunggu. Menunggu hasil apa yang akan diperoleh kelak, setelah hari ini orang-orang di rumah orang tuaku ini tidak rela membuang atau menjual kulkas lama. Meskipun sudah membeli kulkas yang baru, meskipun aku sudah berusaha mengingatkan. Semoga dilindungi dari hal-hal yang tidak baik.

Mati hanya mengenakan kafan, disemayamkan dalam ruang yang sempit, tak membawa apa-apa selain amal. Hidup sederhana sajalah, Ro!

Nilai

Kemarin, aku sedikit berdebat dengan ibuku.

Mulanya ibuku bercerita bahwa kakekku pernah menggunakan cara yang sederhana untuk menguji karakteristik putra-putrinya. Caranya yaitu dengan menyuguhkan makanan untuk disantap kembulan, atau bareng-bareng dalam satu nampan besar untuk semuanya. Dari pola makan kembulan putra-putrinya, kakekku menilai bagaimana karakter mereka. Ada yang makannya serakah maka dinilainya sebagai anak yang serakah, yang makannya sedikit adalah anak yang suka mengalah, yang suka berbagi lauk adalah anak yang tidak egois, dan sebagainya.

Aku pun menyeletuk, bahwa jika semudah itu menilai karakter manusia maka sesungguhnya kita tidak membutuhkan lagi belajar ilmu psikologi. Hehe, biasalah, skeptis akut Cap Coro.

Pikirku, kok enteng jika karakter manusia yang begitu kompleks, yang terbangun dari kristal-kristal pengalaman hidupnya, bisa kita nilai dari satu kejadian saja. Untuk kasus kembulan di atas, bukankah bisa saja yang serakah itu ternyata telah berjam-jam menahan lapar, yang sedikit makannya sebenarnya memang tidak doyan makan, dan yang berbagi lauk ternyata tidak menyukai lauknya? Lha wong, Khidir AS yang nabi saja menetapkan tiga perkara untuk benar-benar “menilai” Musa AS. Mosok ya manusia-manusia kroco semacam kita ini dianugerahi karomah yang melebihi nabi? Ah, mana ada.

Namun, sejatinya aku pun tidak rela jika ada upaya untuk menghilangkan kebiasaan menghakimi, menilai, memberi label kepada orang lain. Karena itu lumrah, menurutku. Yang demikian itu adalah sifat dasar manusia. Dan sesungguhnya manusia yang bijak adalah yang hidup berdasar sunatulloh, tidak menentang naluri-naluri dasar kemanusiaannya, tidak berlebihan, dan mampu mengarahkannya pada jalan yang benar. Ambillah contoh kasus memilih jodoh. Bukankah wajar jika kita menilai dahulu kepribadian si calon pendamping, keelokan hati dan rupanya, baru kemudian memutuskan untuk menikahinya?

Hidup ini adalah urusan nilai-menilai, kawan. Baguskah nilaimu?

Wallohu a’lam.

Kata

Hujan hari ini
membukakan pintu kerinduanku pada impi lara,
pada saudjana, pada sosok-sosok yang dahulu berlari-larian
mengejarnya, berteriak, memuntahkan kata

Ketahuilah, kawanku,
kata-kata telah terhanyutkan usia,
mereka tenggelam dalam sunyi syahdu kembara
petualangan, pencarian kepada muara

Mungkin dentang girang lantang semesta
turut menanggalkan kata dari binar kemegahannya
Pun mungkin, segala kepahitan yang teredam
telah enggan berbisik mengiris
mengajak pada malam-malam sedu tetangis

Aku tak tahu

Yang kutahu,
sesungguhnya kata masih bergemuruh dalam kesunyiannya,
masihlah bersenandung dalam nada kesendiriannya
kata hanya menjelma, merupa
karya

Suatu hari, kawanku,
sejenaklah menengok

Legacy

Kemarin, catu daya komputerku, si Oren, meleduk. Layaknya petasan kecil, meledak, dan keluar api. Selama sekian detik aku tertegun, kaget, namun sekaligus excited. Baru kali kemarin komputerku meledak dan mengeluarkan api. Sangat sangat keren di mataku.

Oren memang sangat jarang kutidurkan. Hampir setiap hari selalu ada saja bahan untuk kuunduh dari internet, maka setiap kali itu pula dia bekerja. Jika orang lain gemar menimbun barang, baju-baju, pernak-pernik, simply stuffs, untukku those stuffs are my goddamn files: ebook, software, resource untuk megawe, film, video, lagu, komik, foto, game, dan data-data lain yang kadang eksistensinya patut dipertanyakan. Aku menyimpan 1500-an keping disc, yang hampir 90% berupa DVD. Koleksi buku elektronikku, jika kucetak dalam bentuk buku, mungkin rumah ini belum mampu menampungnya. Aku juga penggila anime, dorama, dan manga. I’m simply otaku. Maniak.

Entah apa sebenarnya motivasiku menimbun data-data yang sebagian besar useless, yang keberadaannya tidak terlalu kubutuhkan itu. Kadang aku berdalih bahwa mereka merupakan legacy yang akan kuturunkan ke anak cucu. Aku selalu membayangkan suatu kejadian di mana suatu hari anakku berkumpul bersama temannya, saling membanggakan ayah mereka masing-masing. Ada temannya yang bangga karena ayahnya seorang pilot, ada yang ayahnya seorang DPR, dosen, pengusaha, dll. Lantas anakku, well, dia membanggakanku sebagai penimbun data, penimbun anime dan dorama, dengan ribuan koleksi buku, ayahnya seorang nerd. Lucu banget ya kalo sampe beneran terjadi. :D Tetapi sungguh, aku memang ingin mewariskan semua data-data itu ke keturunanku kelak. “Hey nak, ini lho film yang populer ketika kakekmu masih bujang,” mungkin begitu ujarku mengawali cerita kepada cucuku nanti. Aku ingin ada sedikit ilmu atau serpihan kehidupanku kini yang bisa kutransfer kepada mereka.

Lagipula, menyimpan data jauh lebih murah dan mudah ketimbang menyimpan barang-barang fisik lainnya, pikirku. 1500-an disc atau hardisk eksternal yang kini berkapasitas teramat besar, memang hitungannya masih murah. Namun tetap saja, aku mesti menganggarkan dana khusus, tenaga, juga waktu untuk menyimpan dan menjaga data-data itu, dan itu semua ternyata tidak terlalu murah dan mudah.

Maka momen kemarin membuatku berpikir untuk benar-benar memulai diet data. Aku berjanji akan lebih selektif.

Motivasiku pun berubah. Alih-alih mewariskan data, something physical, aku ingin mewariskan sesosok figur, sebuah nama, aku, yang mampu menggunakan semua resource, koleksi, ilmu, dan hidupnya demi kemaslahatan orang banyak. Seorang nerd sejati.

Bahagia?

Sejauh ini, iya.

Sungguh?

Sungguh. Entahlah, aku tidak tahu kenapa aku sangat jarang merasa sedih dan galau berkepanjangan, atau sebaliknya, gembira yang berlebih-lebihan. Meski masih serba kekurangan, tetapi selalu saja ada kekuatan yang kemudian menunjukkan jalan, dan mencukupkan.

I always found happiness in every mundane little things. Dan aku sungguh-sungguh bersyukur bahwa aku dikaruniai kemampuan seperti itu, untuk selalu menemukan keceriaan pada hal-hal yang remeh, yang sederhana.

Aku senang ketika aku pulang, segelas teh manis menyambut hangat. Aku senang kamarku berjendela besar, mentari bercengkerama dengan lembut sinarnya. Aku teramat riang ketika helm dan motorku tercuci bersih. Aku senang mengamati pusaran-pusaran air di dalam mesin cuci. Aku senang dengan kerapian dan keindahan. Aku bangga dengan komputer tuaku. Aku bangga dengan orang tuaku yang sepuh dan bijak. Aku senang telah khitan. Aku bersyukur masih bisa kuliah hingga mendapat gelar sarjana. Aku bahagia dapat dimudahkan untuk membaca ribuan buku dan menyerap ilmu. Aku juga gembira bercanda dengan Tuhanku, ketika aku berdoa dan tiba-tiba dikabulkan-Nya seketika. Aku senang ketika masih di jalan aku membayangkan ingin makan udang goreng, atau masakan Padang, atau tahu lontong, dan tiba-tiba saja ketika sampai di rumah semuanya telah tersedia entah dari mana. Aku senang tiba-tiba ditraktir di kafe. Aku gembira masih bisa makan 2 kali sehari. Aku menggilai soto dan koloke bikinan ibuku. Aku riang bukan kepalang ketika aku meminta untuk diberikan lampu hijau di setiap persimpangan jalan hingga sampai tempat tujuan, dan Dia mengabulkannya. Aku senang ketika aku yang tak pandai bergaul dapat berceloteh dan bercanda dengan orang lain. Aku senang percakapanku dengan teman-temanku banyak kuawali atau kuakhiri dengan “Hahaha”, atau “Hekekek”. Aku senang ketika gelombang otakku saling beresonansi, sinkron, dengan dia atau teman-temanku lainnya.

Kini, aku sungguh bahagia dipertemukan dengan dia nan jelita, sahabatku mulai SMP, SMA, dan kini akan menjadi calon istriku.

Subhanalloh. Tuhanku, sungguh, aku tidak mampu menghitung nikmat ini. Alkhamdulillah Ya Raabb, segala puji dan syukurku hanya untuk-Mu. Hanya kepada-Mu wahai Paduka Raja.

Mohon tetap berilah hamba-Mu yang hina dina jelata ini kebahagiaan hingga nanti ketika tanggung-jawabnya bertambah besar, ketika dia menjadi suami bagi istrinya, ayah bagi anak-anaknya, kakek bagi cucu-cucunya. Hingga maut menjumpai untuk kemudian dibangkitkan di akhirat. Bangkitkanlah kami dalam kumpulan hamba-hamba-Mu yang shalih dan selalu mensyukuri nikmat-Mu.

Amiin.

   

*baru kali ini nulis sambil mbrebes mili*

Passionate Learning

This is a not-so-short guidance for anyone who will take SNMPTN.

Ketahuilah, tidak ada jaminan bahwa kuliah di perguruan tinggi akan memberimu ilmu yang bermanfaat, atau menunjukkan kepadamu akan seperti apa penghidupan dan kehidupanmu di masa yang akan datang.

But, insya Alloh, you are most likely to suceed in your campus life or in your future if you have a bit more passion in your learning.

Jadi, alih-alih engkau ingin menjadi siapa, ask yourself, kamu suka apa. Tidak perlu berkaca pada orang lain, pun tidak usah peduli mereka telah menjadi siapa dan bagaimana penghidupan mereka.

Let me tell you my own story.

Change

Lucu.

Karena dari dulu, setiap kali aku berpikir bahwa aku harus berubah, aku tidak tahu entah harus bagaimana, harus mulai dari mana.

I have to change, I know why, but I don’t know how!

Kalaupun aku sudah bisa sedikit demi sedikit memulai hal yang baru, yang lebih baik, di luar kebiasaan atau karakterku selama ini, perubahan itupun takkan lama. Seperti ada kekuatan yang besar, yang berulang-ulang menjerumuskan kembali ke lubang kelam yang sama.

I’m a coward. Thinking about that makes me kinda sad.