Hagi in Masjid

Jujur, tadi aku sama sekali tidak khusyu’ ketika sholat maghrib di masjid dekat rumah. Tadi adalah kali kedua aku mengajak Hagi (hampir berumur 2 tahun lebih 2 bulan) ke masjid dan aku berulang-ulang memperhatikannya di sampingku mengikuti gerakan sholat.

Dia. Di sampingku. Mengikuti gerakan sholat. Masya Allah!

Sedikit menoleh kesana kemari, tetapi kurasa semua gerakan sholat diikuti olehnya. Kadang, ketika dia terlalu cepat bangun dari sujud, dan melihat sekelilingnya masih sujud, maka dia bersujud kembali. Sungguh lucu. Ketika kami takbir dia takbir, ketika ruku’ dia pun ruku’, sujud dan duduk pun diikuti semampunya.

Sungguh, untuk seorang bapak yang pemalas, yang jarang sekali ke masjid, pemandangan tadi adalah suatu kebahagiaan. Ketika pulang langsung kubangga-banggakan kepada ibunya, kuciumi pipi dan keningnya. Senang sekali rasanya.

Semoga aku bisa menjadi bapak yang senantiasa memberi contoh dan mengajak anak-anaknya kepada kebaikan. Tidak hanya sekedar memerintah dan memberi komando, tetapi benar-benar menjadi teladan. Maghrib tadi adalah ajakan kepada anakku untuk memakmurkan masjid.

Ya Allah, dalem nyuwun diparingi istiqomah.

Gestural Boy

Hagi sudah berumur 441 hari. Atau 1 tahun, 2 bulan, 15 hari. Atau 14,5 bulan.

Seperti yang pernah aku tweet, dia berkembang menjadi anak dengan mercurial temper. Meskipun demikian, kondisinya masih bisa dikatakan wajar dan tidak terlalu sering mengalami perubahan mood yang terlalu ekstrim. But, boy, he sure is lively. Lari sana, lari sini. Panjat kursi sana, panjat tempat tidur sini. Cekatan, seperti namanya.

Oh ya, aku belum bilang, dia sudah bisa berjalan, sedikit sering berlari malahan. Alkhamdulillah. Dan di usia ini, dia sudah memiliki gesture vocabulary yang jauh beragam. Aku pernah menuliskan tentang bagaimana dia suka menirukan gayaku minum kopi, itu masih dilakoninya sampai sekarang, meski tidak sering lagi. Dia sekarang juga suka mengatupkan tangan seperti berdoa, ketika mendengarkan kami berdoa, atau ada yang mengaji. Kadang dia juga berdiri di sampingku, ikut berdiri bersendekap (dengan gesture tangan yang lucu) dan sujud, ketika aku sholat. Ibunya senang sekali melihatnya.

Dia suka dipijit sebelum tidur, jadi seringkali dia menyodorkan kakinya untuk dipijit. Atau menyodorkan bantal kecil, untuk mengipasinya. Ketika tertawa terbahak-bahak, dia sering menutup mulutnya dengan kedua tangan. Entah kebiasaan baik dari mana ini yang dia tiru, karena kami orang tuanya malah tidak demikian ketika tertawa.

Dia juga cukup sering rebutan remote TV dengan kakak-kakak sepupunya, suka memindah-mindah channel TV secara acak dan menjengkelkan penonton lainnya. Kadang apapun yang serupa remote dijadikannya remote, meskipun itu handphone atau tempat bedak sekalipun. Komputerku adalah gadget lain yang sering dijadikannya mainan. Tombol keyboard favoritnya adalah tombol Windows (gambar jendela), karena ketika tombol itu dipencet, kotak-kotak menu Windows 8 akan segera bermunculan. He likes them. Hehe, one step closer to be a hacker.

My lil' hacker

Ada juga gadget lain yang tidak terlalu dia suka: hair-dryer ibunya dan jam wekerku. Mungkin karena keduanya mengeluarkan bunyi aneh dan tampak berbahaya. Kadang ketika ibunya mengeringkan rambut, alih-alih berlari menjauh dia malah segera berlari ke arah ibunya sembari memasang wajah khawatir. “Itu berbahaya, jangan pakai itu!” mungkin begitu pikirnya, seolah mengingatkan. Tetapi itu hanya kadang-kadang, yang sering adalah dia berlari menjauh, mencari perlindungan ke arah orang lain yang dikenalnya.

Hagi sudah jauh lebih bisa diajak berkomunikasi sekarang. Kami kadang memintanya mengambil barang, dan dia mau mengambilkannya. Kadang kami pura-pura tidak tahu lantas bertanya di mana botol susunya berada, dan dialah yang menunjukkannya. Hanya saja, kami sedikit khawatir karena kemampuan komunikasi gesturalnya justru berbanding terbalik dengan komunikasi verbal. Dulu dia lebih sering berkata-kata, sudah bisa ngomong beberapa kata seperti “bapak”, “gajah”, dan “kuda”. Kini dia hanya lebih sering menunjuk-nunjuk sambil mengeluarkan suara-suara seperti dulu ketika dia masih bayi kecil. Ada yang bilang mungkin dia terlalu fokus untuk berlatih berdiri dan berjalan sehingga dia lupa pelajaran berkata-kata yang telah lalu. Jadi untuk saat ini kami masih menganggapnya sebagai hal yang wajar saja.

Sruput

Seperti kebanyakan orang tua dan penikmat kopi di Indonesia, aku juga mempunyai kebiasaan menghela nafas dan meniupkan uap-uap kopi di akhir setiap sruputan. Seperti halnya orang Jepang yang nyeruput kuah mie ramen keras-keras untuk menunjukkan penghargaan mereka kepada si pembuat mie, helaan nafas kami bisa pula dianggap sebagai apresiasi kami terhadap minuman kopi tersebut.

Ternyata, ada yang selama ini diam-diam mengamati kebiasaanku itu: anakku, Hagi, yang masih berumur 10 bulan.

Pagi tadi, aku menggendong Hagi dengan tangan kiriku. Tangan kananku meraih gelas kopi. Sluuurp…. Dan Hagi tiba-tiba menghela nafas, haaaaah. Aku nyeruput lagi, dia yang menghela nafas lagi. Berulang-ulang.

Sontak aku tertawa. Hagi made my day.

Nilai

Kemarin, aku sedikit berdebat dengan ibuku.

Mulanya ibuku bercerita bahwa kakekku pernah menggunakan cara yang sederhana untuk menguji karakteristik putra-putrinya. Caranya yaitu dengan menyuguhkan makanan untuk disantap kembulan, atau bareng-bareng dalam satu nampan besar untuk semuanya. Dari pola makan kembulan putra-putrinya, kakekku menilai bagaimana karakter mereka. Ada yang makannya serakah maka dinilainya sebagai anak yang serakah, yang makannya sedikit adalah anak yang suka mengalah, yang suka berbagi lauk adalah anak yang tidak egois, dan sebagainya.

Aku pun menyeletuk, bahwa jika semudah itu menilai karakter manusia maka sesungguhnya kita tidak membutuhkan lagi belajar ilmu psikologi. Hehe, biasalah, skeptis akut Cap Coro.

Pikirku, kok enteng jika karakter manusia yang begitu kompleks, yang terbangun dari kristal-kristal pengalaman hidupnya, bisa kita nilai dari satu kejadian saja. Untuk kasus kembulan di atas, bukankah bisa saja yang serakah itu ternyata telah berjam-jam menahan lapar, yang sedikit makannya sebenarnya memang tidak doyan makan, dan yang berbagi lauk ternyata tidak menyukai lauknya? Lha wong, Khidir AS yang nabi saja menetapkan tiga perkara untuk benar-benar “menilai” Musa AS. Mosok ya manusia-manusia kroco semacam kita ini dianugerahi karomah yang melebihi nabi? Ah, mana ada.

Namun, sejatinya aku pun tidak rela jika ada upaya untuk menghilangkan kebiasaan menghakimi, menilai, memberi label kepada orang lain. Karena itu lumrah, menurutku. Yang demikian itu adalah sifat dasar manusia. Dan sesungguhnya manusia yang bijak adalah yang hidup berdasar sunatulloh, tidak menentang naluri-naluri dasar kemanusiaannya, tidak berlebihan, dan mampu mengarahkannya pada jalan yang benar. Ambillah contoh kasus memilih jodoh. Bukankah wajar jika kita menilai dahulu kepribadian si calon pendamping, keelokan hati dan rupanya, baru kemudian memutuskan untuk menikahinya?

Hidup ini adalah urusan nilai-menilai, kawan. Baguskah nilaimu?

Wallohu a’lam.

Offline Friday

Dulu aku pernah mendedikasikan Jumat sebagai hari baca.

Now, I want to take it further.

Aku ingin mencoba menjadikan Jumat sebagai hari bebas internet. Offline day. Sekedar bebas internet, karena aku belum bisa sepenuhnya off the grid. Jadi aku mungkin masih akan bermesra-mesraan dengan komputer dan Kindle.

Kenapa kok offline?

Entahlah. Akhir-akhir ini aku merasa hidupku terlalu didefinisikan dengan segala perangkat yang kupergunakan, internet adalah salah satunya. And I hate that kind of living. Aku hanya merasa enggan untuk terlalu bogoh kepada teknologi, atau fashion, atau lainnya. Kupikir aku ini sudah cukup hubud dunya, dan aku harus berhenti.

We shape our tools, but our tools don’t have to shape us. Menurutku sih begitu.

Doaku Untuk Anakku

Umumnya, para bayi baru bisa membedakan kondisi siang dan malam, bangun di siang hari dan tidur di malam hari, kira-kira ketika menginjak usia 4 atau 5 bulan. Anomali jam dan pola tidur bayi pada fase awal pertumbuhan mereka tersebut adalah salah satu momok yang sering dikeluhkan para orang tua baru.

Sebenarnya ada trik-trik yang bisa diterapkan untuk mengajarkan pola tidur orang dewasa pada bayi. Beberapa referensi menganjurkan untuk meminimalisasi interaksi di malam hari ketika bayi terbangun, dan sebaliknya, memperbanyak aktifitas dan mengurangi tidur bayi di siang hari. Saat malam, orang tua bisa sedikit mengacuhkan si bayi dan hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti minum susu atau ganti popok. Dengan demikian, bayi bisa belajar mengenali bahwa malam adalah waktu untuk orang dewasa tidur, waktu yang sunyi dan sepi, hingga akhirnya si bayi belajar memilih untuk lebih banyak beraktifitas di siang hari dan tidur di malam hari. Ada juga Ferber Method yang cukup sering diadopsi di film-film Hollywood, meski dinilai sedikit ekstrim dalam upayanya untuk menidurkan bayi, bisa dibaca di Wikipedia dan BabyCenter.

Alkhamdulillah, sejak usia anakku 1,5 bulan, aku dan istriku tidak lagi direpotkan dengan masalah anomali tidur itu. Sejak usia itu hingga kini beranjak 4 bulan, Hagi, anak kami, akan beranjak tidur setiap ba’da Isya hingga pagi subuh.

Namun, jujur, kami tidak pernah benar-benar mencoba cara yang kusebutkan di atas. Jika aku juga terbangun (istriku yang lebih sering bangun malam), aku malah lebih sering membuat keributan dan merecoki istriku dengan mengajak Hagi bermain. Aku dan istriku tidak menggunakan metode apapun, kecuali mungkin satu amalan yang kulakukan dulu ketika istriku mengandung: setiap ada kesempatan, aku selalu berdoa dan membisikkan harapanku tentang Hagi sembari mengelus-elus perut istriku yang hamil membuncit, juga setiap selesai sholat.

Serius. Kutuliskan di sini tanpa bermaksud untuk riya’ dan sombong, semoga.

Aku sudah berulang kali membuktikan bahwa melalui doa, dengan uluran bantuan Allah, semua hal di dunia ini adalah mungkin untuk terjadi. Maka jika aku menginginkan anakku termasuk dalam kategori low maintenance, aku mendoakannya demikian. Pun jika aku menginginkannya untuk kelak bisa menghidupkan namanya yang Salman, yang Rahmadya, yang Rahagi, yang Hagi, dapat berperilaku aktif, gigih, cekatan dalam menebarkan kasih sayang dan kedamaian bagi lingkungannya, dianugrahi Allah kasih sayang dan cahaya kebijaksanaan, maka aku mendoakannya demikian.

Hampir semua harapanku untuk Hagi tertuang pada doaku, kusebutkan dan kulantunkan dengan detail. Aku berdoa agar dia menjadi anak yang shalih, sehat jasmani rohani, bagus dan rupawan, tidak sakit-sakitan (Hagi cukup kebal terhadap penyakit, alkhamdulillah), menjadi anak yang cerdas, tidak terlalu rewel, tidak selalu ingin digendong (karena ada keponakanku yang sering menangis jika tidak digendong), gampang makannya, tidak pilih-pilih makanan, tidak banyak alergi, cekatan dalam segala hal, penurut, aktif tetapi tidak hiperaktif, pandai mengaji Quran, rajin sholatnya, jujur, dan rendah hati. Aku dan istriku juga selalu dan selalu berdoa agar Hagi bisa senantiasa menyenangkan hati kami orang tuanya dan orang-orang lain di sekitarnya.

Sayangnya, aku melupakan satu hal, sang ibu. Aku hanya mendoakan sekenanya untuk istriku. Dan mungkin, tanpa bermaksud merendahkan kuasa dan kehendak Allah, itulah yang menyebabkan ASI istriku tidak terlalu bancar. Aku menyesalinya hingga kini.

Sejauh ini sebagian besar doaku terkabulkan, alkhamdulillah. Setiap pagi, aku bekerja dari rumah, di depan komputer, dan Hagi selalu menemaniku di ranjang di ruang kerjaku. Jarang sekali rewel, hanya sesekali menangis ketika merasa lapar, dan kembali tenang untuk bermain atau melantunkan suara-suara khas bayi ketika sudah kenyang. Sungguh sungguh menyenangkan. Aku malah pernah sesumbar tidak lagi membutuhkan white noise dan Coffitivity, suara Hagi sudah cukup.

Teruntuk para calon orang tua (heh Fiz, Hafiz!), doakanlah calon anakmu, semenjak dia masih di dalam kandungan. Ajaklah berinteraksi sejak anak sudah bisa mendengar meski masih di dalam kandungan. Perbaikilah kesalahanku, doakan juga si ibu, mintalah anugerah keselamatan dan kesehatan untuknya ketika mengandung, ketika melewati proses melahirkan, hingga nanti ketika bersama-sama membesarkan anak.

Aku selalu percaya, doa mampu menciptakan generasi yang lebih baik. Aku harap engkaupun demikian.

Old Habits Die Hard

Dulu aku pernah punya dua tumblog aktif di Tumblr. Yang satu berisi sketsa-sketsa tentang keseharianku, hampir mirip dengan Cap Coro namun berupa gambar-oretan, dan yang satu lagi berisi puisi-puisi picisan. Tumblog yang berisi gambar sudah mati, karena waktu itu aku menggunakan image hosting gratisan, yang kemudian tiba-tiba saja mati membawa data-data gambarku bersama mereka. Sedangkan yang berisi puisi-puisi amburadul masih hidup hingga sekarang, meski sudah lama tidak ada lagi gegombalan baru yang kutuliskan di sana.

Baru-baru ini, bersama dua sahabatku, Hafiz dan Vio, aku menjadi penggembira dalam blog Kursibaca, membahas tentang buku sebagai pop culture, dan menulis resensi-resensi. Kemudian, baru mulai seminggu yang lalu, aku membuka lagi satu tumblog baru untuk Gravakadavra, studio desainku (studio virtual). Di sana aku ingin mencoba membahas tentang desain, freelancing, menjadi seorang homeworker, dan tetek bengek personal development lainnya.

Jujur, akhir-akhir ini aku sebenarnya tidak terlalu termotivasi untuk menulis. Aku menyibukkan diri dengan anakku yang kini hampir berumur 4 bulan, dan mengerjakan proyek-proyek pribadi sehingga aku semakin jarang menulis. Seperti yang pernah kutuliskan dahulu, Cap Coro pun akhirnya kehilangan identitas awalnya sebagai real-time blog. Aku juga memberi batasan kepada diriku sendiri bahwa sesuatu yang kutulis haruslah sesuatu yang “bersuara”, yang bermakna, karena urip mung mampir nggubis adalah filsafat yang keliru. Aku tidak lagi berani sesumbar dan berkoar-koar, aku ingin menjadi lebih dewasa.

Membayangkan diriku menuliskan tentang sesuatu yang tidak kuketahui, katakanlah tentang buku dan desain, sedangkan aku hanya book hoarder dan tukang bikin logo, membuatku minder. Pada awal pembentukan Kursibaca (hingga hari ini), aku cukup rendah diri ketika Hafiz mengajakku untuk menulis resensi. Aku tidak pede, aku tidak ingin menulis sesuatu yang aku bukan ahlinya.

Namun kemudian aku sadar bahwa aku juga punya ide, aku punya gagasan, aku punya uneg-uneg, dan mereka cukup penting untukku. Seharusnya mereka kurekam, kujelajahi, tetapi mereka akhirnya sekedar mampir sejenak dalam benak tak tertuliskan. Sungguh sayang, kupikir. Bukankah pula ada hikayat bahwa seorang fulan terbebas dari neraka karena ada kawannya yang calon penghuni surga tidak ridha si fulan masuk neraka hingga akhirnya bernegosiasi dengan Tuhan dengan mengatakan bahwa si fulan telah ber-amar ma’ruf kepadanya semasa hidupnya?

Maka, mulai sekarang, aku ingin lebih ajeg menulis.

Aku ingin lebih bisa menyisihkan waktu, untuk menebar ilmu, menuliskan sesuatu yang kuketahui, dan mungkin akan lebih banyak lagi tentang sesuatu yang tidak kuketahui. Aku penasaran, aku ingin tahu bagaimana mengemas, merekam, dan menyebarkan ide-ideku. Mulai hari ini, semua blogku bukan lagi sekedar perkamen pribadi. Semoga semuanya lebih mencerahkan dan membuka wawasan.

Bismillah.

Ngadeg Jejeg

Aku tersenyum sendiri membaca tulisan temanku, Hafiz, di Colorwalk-nya. Lagi-lagi, karena pemikiran kami mirip.

Jika Hafiz menuliskan di sana bahwa dia terbiasa menolak pemberian orang lain, sungkan, karena terasa merepotkan si pemberi, aku pun juga demikian. Bedanya aku lebih sungkan meminta bantuan, ketimbang menolak pemberian barang. Aku berpikiran bahwa hadiah adalah rizki yang diulurkan oleh Allah melalui tangan orang lain, maka siapalah aku yang berani menolak rizki-Nya, pertolongan-Nya? Jadi sudah dari dulu aku cuman bisa mesam-mesem, mrenges, sambil bilang, “Suwun yo!”, ketika ada saudara atau kerabat yang memberi hadiah. Rasanya sudah tak sungkan-sungkan lagi. Hehe. Bahkan dulu aku tak pernah sekalipun membeli t-shirt, semua t-shirtku adalah pemberian atau hasil kerja desain t-shirtku sendiri. Mengingat itu semua, aku hanya bisa bersyukur bahwa begitu banyak orang yang peduli kepadaku.

Namun beda halnya dengan menerima bantuan yang memakan tenaga dan waktu orang lain. Untuk urusan-urusan yang notabene kepentinganku, aku lebih suka melakukannya sendiri, bukan semata karena aku OCD, tidak percaya kepada kemampuan orang lain, namun karena aku sepertihalnya Hafiz sungkan merepotkan orang lain. Menurutku, memang seharusnya setiap orang memiliki rasa malu membebani orang lain. Sedikit ganjil memang, jika dipikir-pikir, bantuan tenaga pun bisa dianggap seperti hadiah barang kan? Entahlah, aku tetap memperlakukannya secara beda. Masih saja sungkan.

Jadi tempo hari aku bertekad sesedikit mungkin merepotkan orang lain dalam upaya mempersiapkan pernikahanku (hoi masbro dan mbaksis, aku sudah sah jadi suami! Foto dan beritanya menyusul nanti). Mulai dari undangan, souvenir, tetek bengek birokrasi, salon, catering, sebisa mungkin aku tidak banyak merepotkan orang lain. Aku survey keliling Malang bersama si Nduk, berpatokan pada prinsip-prinsip ekonomi, hasil maksi harga mini. :)

Alkhamdulillah, aku mendapat banyak pelajaran. Dan kurasa itu pula sebabnya aku segan merepotkan orang lain. Aku ingin mendapat ilmu-ilmu baru. Sedangkan meminta bantuan orang lain, selain merepotkan juga menjauhkanku dari kejutan-kejutan, sumber-sumber ilmu baru tersebut. Bisa saja aku meminta bantuan Hafiz untuk menyelesaikan web Gravakadavra, misalnya, namun itu berarti aku menyerah untuk belajar HTML dan CSS. Aku tidak ingin seperti itu.

Sebelum meminta bantuan orang lain, kerjakan sendiri dulu. Jika tidak sanggup dan ada rizki berlebih, bayar orang lain untuk mengerjakannya. Jika tidak sanggup, namun tidak pula mempunyai sesuatu untuk diberikan sebagai penghargaan kepada orang lain, barulah boleh meminta bantuan. Ini adalah patokan yang kupegang dan kuajarkan pada istriku. Meskipun dengan sedikit perkecualian untuk hal-hal yang tidak terlalu merepotkan, misalnya menyuruh keponakan beli gula di warung. :)

Jika bisa berdiri dengan kaki sendiri, kenapa kok harus meminjam kaki orang lain? Kemandirian adalah wujud syukur atas anugrah ilmu, kemampuan, dan keahlian yang dituangkan Allah dari samudra kebijaksanaan-Nya.

Legacy

Kemarin, catu daya komputerku, si Oren, meleduk. Layaknya petasan kecil, meledak, dan keluar api. Selama sekian detik aku tertegun, kaget, namun sekaligus excited. Baru kali kemarin komputerku meledak dan mengeluarkan api. Sangat sangat keren di mataku.

Oren memang sangat jarang kutidurkan. Hampir setiap hari selalu ada saja bahan untuk kuunduh dari internet, maka setiap kali itu pula dia bekerja. Jika orang lain gemar menimbun barang, baju-baju, pernak-pernik, simply stuffs, untukku those stuffs are my goddamn files: ebook, software, resource untuk megawe, film, video, lagu, komik, foto, game, dan data-data lain yang kadang eksistensinya patut dipertanyakan. Aku menyimpan 1500-an keping disc, yang hampir 90% berupa DVD. Koleksi buku elektronikku, jika kucetak dalam bentuk buku, mungkin rumah ini belum mampu menampungnya. Aku juga penggila anime, dorama, dan manga. I’m simply otaku. Maniak.

Entah apa sebenarnya motivasiku menimbun data-data yang sebagian besar useless, yang keberadaannya tidak terlalu kubutuhkan itu. Kadang aku berdalih bahwa mereka merupakan legacy yang akan kuturunkan ke anak cucu. Aku selalu membayangkan suatu kejadian di mana suatu hari anakku berkumpul bersama temannya, saling membanggakan ayah mereka masing-masing. Ada temannya yang bangga karena ayahnya seorang pilot, ada yang ayahnya seorang DPR, dosen, pengusaha, dll. Lantas anakku, well, dia membanggakanku sebagai penimbun data, penimbun anime dan dorama, dengan ribuan koleksi buku, ayahnya seorang nerd. Lucu banget ya kalo sampe beneran terjadi. :D Tetapi sungguh, aku memang ingin mewariskan semua data-data itu ke keturunanku kelak. “Hey nak, ini lho film yang populer ketika kakekmu masih bujang,” mungkin begitu ujarku mengawali cerita kepada cucuku nanti. Aku ingin ada sedikit ilmu atau serpihan kehidupanku kini yang bisa kutransfer kepada mereka.

Lagipula, menyimpan data jauh lebih murah dan mudah ketimbang menyimpan barang-barang fisik lainnya, pikirku. 1500-an disc atau hardisk eksternal yang kini berkapasitas teramat besar, memang hitungannya masih murah. Namun tetap saja, aku mesti menganggarkan dana khusus, tenaga, juga waktu untuk menyimpan dan menjaga data-data itu, dan itu semua ternyata tidak terlalu murah dan mudah.

Maka momen kemarin membuatku berpikir untuk benar-benar memulai diet data. Aku berjanji akan lebih selektif.

Motivasiku pun berubah. Alih-alih mewariskan data, something physical, aku ingin mewariskan sesosok figur, sebuah nama, aku, yang mampu menggunakan semua resource, koleksi, ilmu, dan hidupnya demi kemaslahatan orang banyak. Seorang nerd sejati.

Harga Teman

Orang Indonesia itu seringkali menyalahgunakan hubungan pertemanan. Yang sering terjadi padaku dan bisnisku adalah penerapan ‘harga teman’ atau ‘rego konco’. Lucu, karena mentang-mentang dia temanku lantas meminta bayaranku lebih dimurahkan sedikit, atau bahkan gratis.

Jika dari sudut pandangku, jika aku memberi ‘harga teman’ itu adalah sikap yang wajar. Karena dari sudut pandangku aku memberi, aku si empunya gawe dan bisnis. Itungannya aku sedekah. Tetapi jika dari sudut pandang si teman ini, ‘harga teman’ ini berarti dia meminta. Sedangkan dawuhe Rasulullah, tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Jadi dari satu hal ini saja, ‘harga teman’ itu suatu konsep yang aneh ditinjau dari sudut pandang si ‘teman’ atau si pembeli.

Yang kedua, si teman ini mungkin merasa berjasa terhadap si penjual pada masa lampau. Entah saat sekolah bersama sering mentraktir di kantin, atau memberi utang untuk bayar kuliah, atau apapun lainnya. Jadi, jika si teman ini menambahkan embel-embel teman pada hubungan bisnis, berarti dia tidak ikhlas dengan hubungan pertemanan tersebut dan segala lika-liku di dalamnya di masa lampau. Nah, hati-hati lho, tidak ikhlas dan riya’ itu bisa menghapus nilai amal!

Yang lebih aneh lagi, si pembeli ini menganggap kita adalah temannya, intinya orang yang lebih spesial. Namun dia meminta harga yang lebih rendah (bahkan gratis). Bukankah seharusnya sebagai teman dan pembeli justru dia melebihkan pembayaran, bukan sebaliknya?

Kesimpulannya, sebagai penjual, jika memang mampu memberikan ‘harga teman’ ya diberi sedikitlah. Itung-itung bersedekah dan menghormati hubungan pertemanan. Namun, sebagai pembeli, tidak perlu meminta ‘harga teman’ dalam arti mengurangi pendapatan si penjual, bahkan jika mampu lebih baik melebihkan pembayaran untuk menghormati teman sekaligus penjual tersebut. Ada flowchart lucu dari Jessica Hische tentang ‘harga teman’ ini di http://shouldiworkforfree.com.

Ingatkan aku dengan tulisanku ini jika aku sebagai pembeli di kemudian hari meminta ‘harga teman’ kepada penjual, atau kepadamu. Dadi wong Islam iku kudu profesional.